"Keping Kesepuluh"
Baik.
Berhubung kali ini, penonton diminta semakin menajamkan kecerdasan dalam mengimajinasikan sebuah peristiwa, mari kita mulai berbicara soal latar tempat kejadian.
Sebenarnya untuk pengisahan kali ini, tidak ada penggambaran soal dunia fantasi atau legenda terbentuknya sebuah alam. Peristiwa masih sama seperti sebelum-sebelumnya, berkaitan erat dengan realita dan masih soal kehidupan sehari-hari murid SMA di tahun kedua sekolah. Hanya saja untuk penyerapan setiap ilham agar lebih mendalam, kita membutuhkan imajinasi yang lebih luas agar dapat membayangkannya seakan itu benar-benar terjadi secara nyata di depan mata.
"HALO, IBUUUU!" Ada lengkingan suara dalam sapaan itu. Tidak usah menebak-nebak dulu soal siapa yang mengatakannya. Kita baru akan fokus untuk membahas soal latar tempat, bukan? Jadi mari kita menyibukkan diri untuk menjamah ke ranah pembahasan itu saja. Jangan ambil pusing soal karakterisasi dan lain sebagainya.
Latar tempat kali ini, mari kita bayangkan sebuah ruangan amat luas yang diisi oleh rak-rak berisi buku dan sebuah karpet berwarna merah yang tergelar di atas lantai-lantai di sana. Ada jajaran beberapa komputer di dalamnya dan ada sebuah meja besar lengkap dengan sebuah PC sebagai komputer operator. Omong-omong, meja besar itu terletak tepat di sebelah pintu dan diawasi oleh seorang wanita berkerudung abu-abu dengan kacamata berbingkai agak keemasan.
"Aruna! Kebiasaan kamu ya datang-datang bikin kaget." Nah, mari kita membahas soal gestur dan karakterisasi. Wanita si penjaga perpustakaan itu mengelus dada dan menatap Aruna dengan sedikit jengkel.
Omong-omong, eh? Kau sudah bisa menebak bukan, bahwa tempat ini adalah ruang perpustakaan?
Gadis berjilbab coklat yang baru saja masuk itu terkekeh dengan geli. "Ibuuuu, baik deh cantik deh. Duh kacamatanya keren banget emas-emas. Berkilau bak tempaan logam sempurna dan kandil-kandil dalam singgasana sang raja. Wajah Ibu indah dengan sepasang mata kejora yang memikat—"
"Aduh udah deh, to the point aja." Wanita itu pura-pura menatap si gadis dengan kesal. Kemampuan akting yang tak seberapa hebat tidak mampu menyembunyikan senyum kecil di bibirnya. "Mau pinjem apa? Ibu lagi repot nih gara-gara persiapan buat acara Bulan Bahasa. Kamu ke sini mau gerecok apa mau bantuin?"
"Dih si Ibu. Su'uzon aja. Dosa tau, Bu." Aruna terdiam sejenak, seakan sengaja memberikan jeda itu untuk menyembunyikan bahwa sesungguhnya, dugaan wanita di hadapannya memang benar. "Ibuuu, hehehe. Boleh pinjem KBBI versi terbaru yang kemarin baru dateng, nggak? Ibu baik deh. Boleh ya? Ya? Ya?" Aruna mengedip-ngedipkan kedua matanya dengan cepat. Seperti kemasukan dedemit centil atau apa.
Wanita itu mengembuskan napas. Kepalanya menggeleng-geleng dan tertawa sejenak. "Dasar! Bener aja kan ada maunya. Tuh, ambil aja di rak biasa, Runa. Awas ya kalau sampai kamu rusak."
Belum selesai wanita itu menyampaikan ancamannya, Aruna sudah menampilkan gestur hormat dengan mata berbinar. Nah, nah, nah. Beberapa mungkin akan merasa bingung akan perubahan kontras dari sikap Aruna ketika bersama dengan wanita ini dibanding ketika bersama teman-temannya. Kejadian ini juga mungkin tampak sama sekali tak berkaitan dengan prolog yang sebelumnya disampaikan lewat dialog saat hendak memasuki keping ke sekian ini.
Tapi disarankan untuk kali ini, lebih baik kau nikmati saja setiap alur yang diberikan, karena bisa jadi adegan ini mampu sedikit menghibur pikiran yang suntuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Di Balik Kulminasi
Aktuelle LiteraturDi balik kulminasi, berarti di balik puncak tertinggi. Jejak Inspirator kembali mengundang seorang penulis, pencipta lagu, pemilik perusahaan penerbitan, dan pendiri sekolah penyandang disabilitas, bernama Aruna Vimala. Masalahnya tidak...