Menyelami Esensi
Kemuliaan Memaafkan
***
Ada yang berbeda dari pancaran mata itu.
Meski telah berkali-kali menceritakan tentang masa lalunya yang dipenuhi turbulensi dan fluktuasi, mata Aruna tidak pernah menampakkan kesedihan yang sedalam itu. Satu dua mungkin mampu menyadari keganjalan tersebut, tapi nyaris tak ada yang mampu menyadari bahwa Aruna berusaha menutup-nutupi keruhnya emosi dalam pandangannya ke kamera.
Lagi pula bila ditilik secara logika, siapa pula yang akan berpikir bahwa sang pendongeng merasa sedih, padahal ia telah memasuki keping-keping kisah yang berisi kebahagiaan?
Kebanyakan mungkin berpikir bahwa keping sebelumnya adalah puncak dari kebahagiaan sang putri.
Sayangnya bertolak belakang dari segala pernyataan yang ada....
Hidup Aruna tidak langsung memasuki akhir bahagia selayaknya epilog yang disediakan oleh kebanyakan novel fiksi. Dan itulah alasan dari mengapa, tatap mata Aruna tak menyiratkan kebahagiaan seperti bagaimana para penonton menikmati masa-masa bahagia Aruna pada keping sebelumnya.
"Kadang saya berpikir. Kalau keseluruhan kisah saya, saya angkat menjadi sebuah novel, mengaku-ngaku bahwa itu adalah karya fiksi yang sudah saya rencanakan sejak SMA, berpura-pura seakan semua yang saya kisahkan dalam buku itu hanyalah buah dari angan-angan saya, saya merasa yakin kalau para penikmat kisah dramatis dan sinetronis pasti akan memburu karya saya itu." Ada senyum yang terlukis dari bibir wanita itu. Sayangnya sedalam apa pun lengkung senyum itu dipahat, bahagianya tak akan terasa bila mata tak mendukung yang serupa.
"Terkadang ketika sedang sendiri dan merenung masa lalu, saya selalu saja bertanya-tanya. Kenapa semua hal yang terjadi pada diri saya, seperti wujud nyata dari semua adegan yang ada dalam kisah-kisah motivasi dramatis?" Wanita itu menarik napas untuk memberi jeda. Sang pembawa acara menatap narasumbernya tepat di mata.
"Saya berpikir. Apa hidup saya ini memang sejenis kanvas putih yang kemudian ditumpahruahkan berbagai warna-warni cat berlukiskan sebuah kesenduan, supaya Tuhan memberikan sebuah bukti, bahwa dramatisasi hidup tidak hanya ada dalam panggung sandiwara buatan manusia, tapi juga pembuktian bahwa dunia yang dicipta-Nya itu sendiri justru adalah panggung sandiwara yang senyata-nyatanya?"
Senyap. Angin bahkan tak berani menyusup meski pekat telah melingkupi langit di luar sana.
"Tapi, berhubung waktu kita untuk menikmati kisah-kisah pilu di balik kulminasi ini sangat terbatas, saya tidak akan menceritakan keseluruhan kisah saya mulai dari meniti karir sampai apa yang orang-orang lihat sekarang ini. Mungkin saya hanya akan merangkumnya menjadi sebuah titik-titik terendah sekaligus pelajaran yang bisa diambil faedahnya. Dan untuk memasuki itu semua, saya akan mengajak Jejak dan penonton di studio maupun di rumah, untuk menyelami kisah tentang satu dari sekian kegagalan yang telah dialami oleh Aruna Vimala."
Sang pembawa acara tampak tak berminat untuk memotong pembuka yang ke sekian itu. Matanya hanya tampak berkilat seperti kemilau prastika yang baru diasah hingga mengilap.
"Pada penyelaman kisah kali ini, kita akan bertemu dengan titik-titik egoisme di mana Aruna kehilangan dirinya sendiri untuk menggapai satu kemuliaan. Mungkin titik ini sering kali diabaikan, tapi sekaligus menjadi rute paling sulit untuk ditempuh ketika kita merasakannya secara langsung." Aruna membetulkan posisi duduknya sebelum menambahkan kalimat selanjutnya. "Titik itu adalah memaafkan dan berdamai. Berdamai dengan hati yang pernah dikhianati...."
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Di Balik Kulminasi
Ficción GeneralDi balik kulminasi, berarti di balik puncak tertinggi. Jejak Inspirator kembali mengundang seorang penulis, pencipta lagu, pemilik perusahaan penerbitan, dan pendiri sekolah penyandang disabilitas, bernama Aruna Vimala. Masalahnya tidak...