"Keping Ketujuh"
"Kalian itu sebenarnya mengapa tertawa-tawa?" Tidak tersirat sedikit pun bentakan dalam nada bicara itu. Malah terkesan datar, atau bosan, atau malah ... lelah?
"Sejak saya mengajar di kelas ini, saya tau dengan jelas, mana yang serius ingin belajar, dan mana yang main-main saja. Saya tau itu semua. Saya tidak buta." Garis-garis kerutan di sudut mata pria itu, membuat tatapannya jadi tampak lelah dibanding marah—seperti bagaimana untaian kalimat dalam dialognya membawa pada suasana hening. Pria dengan usia kepala lima itu menerawang pada barisan anak yang duduk dengan posisi agak amburadul karena saling berkelompok atau sejenisnya. Aruna tidak masuk dalam hitungan. Dia masih duduk rapi di tempatnya, sambil menunduk dengan penuh rasa bersalah.
"Saya datang, kalian selalu asik sendiri. Mengobrol. Tahu diri, saya ini. Saya tau memangnya saya siapa? Saya tau kalian ini murid-murid pintar. Pilihan. Nem-nem terbaik. Disaring dengan jalur tes yang ketat. Memangnya siapa saya dibanding murid-murid pintar seperti kau-kau ini, 'kan? Pelajaran bawaan saya juga cuma bahasa Indonesia, 'kan?
"Apa pentingnya bahasa? Kan kau-kau ini anak-anak pandai. Fisika, kimia, matematika, saja sudah di luar kepala. Buat apa belajar bahasa? Harusnya sekolah sudah pecat saja saya ya. Guru tua yang sebentar lagi pensiun. Cuma menyusahkan, 'kan? Omongannya juga membosankan. Hanya bikin tidur. Harusnya saya undurkan diri saja dari lama? Iya, 'kan?"
Kepala Aruna menunduk lebih dalam. Tidak ada. Masih belum ada sedikit pun nada bentakan dari ucapan pria itu meski pandangannya sudah menyiratkan kekecewaan yang amat dalam. Justru dengan penahanan intonasi itu—benteng luapan kecewa yang menampung agar tak tumpah, justru dengan segala yang terjadi itu malah membuat mata Aruna menjadi terasa amat pedas. Perih; basah; tidak sama sekali lumrah.
Dia bertanya-tanya dengan benak, tidak ada sedikit pun keterkaitan antara ia dengan guru ini—Aruna bukanlah anaknya dan ia tidak begitu dekat secara harfiah. Aruna juga bukan tipikal murid pecinta pelajaran bahasa Indonesia, meski ia suka menulis cerpen dan novel sejak masih di bangku kelas sembilan SMP.
"Sejak saya mengajar dari tahun '70an, tidak ada itu namanya murid seperti ini. Mereka cerdas ... jelas. Mereka pandai ... sudah pasti. Tapi tidak ada itu namanya, tertawa saat guru datang. Mengobrol tanpa henti. Tidak pernah sepanjang sejarah, saya sampai menggebrak meja dua kali di dalam kelas yang sama. Di sini saya lagi salah, 'kan?
"Saya tidak gila hormat. Saya tidak minta kau ... puja-puja, apalah. Yang saya pinta, hargailah ilmu yang saya ingin berikan pada kau semua. Tujuan saya mengajar bukan untuk dihormati, saya tau saya akan mendapat rasa hormat itu ketika saya menghormati orang lain. Kan saya rasa, saya juga hormati kau-kau semua? Sudah pandai, 'kan? Tapi orang pandai selalu bisa menghargai. Tidak lupa darat. Tidak tinggi hati. Semua orang pandai di dunia seperti kau, lenyap sudah peradaban. Lenyap sudah dunia."
Pria itu mengimpit tas plastik berisikan kertas-kertas soal—mulai dari yang masih putih bersih dan baru sampai yang sudah menguning dan berbercak-bercak noda coklat—di antara lengan dan pinggangnya. Aruna tahu tidak butuh satu-dua menit lagi, guru itu pasti akan meninggalkan kelas ini dan nilai sikap semua murid di dalam kelas pasti akan mendapat predikat buruk. D. Atau bisa saja yang lebih buruk dari itu.
"Sudah, saya keluar."
Dan pria itu pergi sambil tak lupa menutup pintu. Nadanya memang tak membawa perubahan pada fase membentak, tapi jauh lebih menyedihkan dari itu semua, Aruna bisa memahami kalau kekecewaan telah menganak penuh di seluruh ruang dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Di Balik Kulminasi
General FictionDi balik kulminasi, berarti di balik puncak tertinggi. Jejak Inspirator kembali mengundang seorang penulis, pencipta lagu, pemilik perusahaan penerbitan, dan pendiri sekolah penyandang disabilitas, bernama Aruna Vimala. Masalahnya tidak...