"Keping Kesembilan"

3.9K 575 104
                                    


"Keping Kesembilan"




"Ayo, yang bisa mengerjakan soal di depan akan ibu kasih nilai plus."

"IBU SAYA MAUU!"

"Apaan sih lu, orang gue duluan."

"Bodo, sih. Kan gue mau dapet nilai tambah biar dapet peringkat 1."

Mata Aruna tenggelam memandang kakinya yang berpijak. Tidak perlu menyebutkan siapa orang-orang yang mengatakan hal itu, dan tidak perlu menganalisis lebih dalam apa maksud dari tiap penekanan kata yang mereka buat. Aruna sudah paham kalau mereka sedang mencoba melemparkan serangan bertubi-tubi terhadap dirinya.

Aruna sendiri tidak dapat mengetahui, siapa sebenarnya oknum yang telah menyebarkan perihal ambisinya untuk mendapat peringkat satu di kelas; masalahnya meski hanya sebaris kalimat biasa sejenis "Pokoknya di kelas 11, gue bakal usaha buat dapet peringkat 1," tapi orang-orang yang pikirannya hanya mengarah pada keburukan, tentu akan menafsirkan bahwa sebaris kalimat itu adalah ambisi busuk milik para manusia yang rela menghalalkan segala cara.

Aruna ingin berteriak keras, menyerukan bahwa ia bukanlah tipikal orang yang seperti itu. Ia memang suka membuat targetan yang tinggi-tinggi, hanya agar usaha yang dikeluarkannya bisa lebih besar untuk mencapai itu semua—dibanding hanya melakukan sesuatu tanpa arah tujuan yang jelas. Ia ingin orang-orang bisa lebih membuka mata, tidak asal justifikasi hitam-putih tanpa memandang sisi yang lain.

Hanya saja di balik semua keinginannya itu, Aruna tahu kalau itu bukan sepenuhnya bisa dia kendalikan karena tak semua orang mau melakukannya. Ada beberapa orang yang lebih suka dengan rumor buruk tentang orang lain, hanya karena mereka ingin 'bersenang-senang' dalam koar-koar tentang informasi buruk itu sendiri; bukan karena mereka ingin benar-benar tahu dengan klarifikasi yang jelas. Aruna berusaha sebisa mungkin untuk memahami semua itu, tapi kenyataannya memang mengikuti pengharapan tidak semudah ketika membuat pengharapan itu sendiri.

"Wedeeeeeh emang Adri maaah. Jadiin udah jadiin." Suara itu menyentak Aruna agar kembali ke dunia nyata. "Adri for peringkat satunya IPA-1."

"Wets, iya, dong. Nggak sombong, nggak sombong."

Aruna menundukkan kepala. Sebisa mungkin tidak mendengar sindiran-sindiran itu.

"GILA YAAAA ADRI. Udah pinter, rendah hati, nggak sombong ... setia kawan lagi. Nggak pelit ya kaaan.... Yang anak olimp fisika aja nggak sombong luh. Gila gila gila. Adri panutan banget siiih."

Tenang.

Jangan terpengaruh, Aruna.

Aruna ingin berteriak sekali saja—tapi nyatanya, ia hanya diam.

Dan menunduk.

Ada satu hal yang tak pernah ia persiapkan setelah memutuskan bahwa ia akan berubah menjadi lebih ramah ketika ia memasuki kelas 11. Ia selalu lupa tentang sebuah fakta penting, bahwa nyatanya untuk mewujudkan sebuah targetan, tidak semudah ketika kita membuat targetan itu sendiri.

Aruna menenggelamkan wajah ke atas meja. Suara-suara di sekelilingnya perlahan-lahan samar, bersamaan ketika ia menutup kedua telinga dengan menjejalkan suara lain yang mengalun dari ponselnya melalui earphone. Ada sebuah aura tak asing yang dirasakan gadis itu ketika ia menyudutkan diri dalam pemikirannya sendiri. Semua menjadi gelap seiring Aruna menutup kedua matanya. Ia terlelap dalam belaian sang mimpi bersama sesuatu yang pernah Aruna rasakan di masa lalu.

[ON HOLD] Di Balik KulminasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang