"Keping Keempat Belas"

2.8K 425 76
                                    


"Keping Keempat Belas"




Fattana Zukhrufa

Run, ke balkon samping toilet lantai dua ya.

Mau ngomong sesuatu nih. Penting.

Aku lupa tadi mau kasih tau kamu soalnya.

Kenapa nggak di kantin aja?:(

Nggak elit amat dah ketemu di toilet wkwk

Yodah, 5 menit. Aku mau ke TU dulu ya

Mau benerin kesalahan data di rapot

Setelah membalas pesan yang dikirimkan Fattana kepadanya, Aruna memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia berlari dengan terburu-buru agar segera tiba di ruang tata usaha, kemudian menemui Fattana yang tengah menunggunya di lantai dua. Ia sendiri sempat merasa bingung. Mengapa harus bertemu di samping toilet? Dan di lantai dua pula?

Sebenarnya, bukan ia merasa trauma karena di tempat itulah, dahulu Aruna pertama kali mendengar teman sekelasnya misuh-misuh menyumpah-serapahinya setelah tidak diberi sontekan saat ulangan. Ia hanya malas bolak-balik naik-turun tangga, meski keadaan tempat itu tidak seburuk ekspektasi orang ketika mengetahui letaknya. Kau pun pasti langsung membayangkan tempat suram dan bau karena letaknya tersembunyi di sebelah toilet, bukan? Tetapi, tidak kok. Tempat itu lebih layak disebut sunyi dan cukup nyaman, karena menghadap langsung ke arah jajaran pohon yang tumbuh di tepi jalan raya.

Setelah tiba di tempat yang dijanjikan Fattana, Aruna sedikit kebingungan sebab tidak ada siapapun yang ia temukan di sana. Napasnya yang satu-satu setelah berlarian menaiki tangga, perlahan kian menormal begitu matanya dimanjakan dengan hijaunya pepohonan. Ia pun berusaha menghubungi Fattana sambil memejamkan mata menikmati semilir angin yang menerpa lembut jilbab putihnya. Barangkali gadis itu sudah pulang duluan karena terlalu lama menunggu Aruna.

Baru saja tiba di nada sambung ketiga, suara seseorang yang memanggil namanya membuat Aruna bergeming. Masalahnya, tentu saja bukan, suara itu bukanlah suara Fattana yang mengajaknya bertemu di tempat ini. Aruna tahu betul kalau itu adalah suara orang lain. Suara yang amat dia kenal. Suara....

Yap. "Rena?" gumam Aruna dengan nada kebingungan. Matanya menyipit dan dahinya sedikit mengernyit. Objek yang ada di hadapan Aruna ikut bergeming, namun dengan gerak yang begitu cepat tiba-tiba saja merengkuh Aruna dengan erat. Gadis itu memang tidak menangis, hanya terdiam tanpa mengucap kata-kata.

"Runa...." Suara Rena sedikit teredam karena mulutnya tertutup oleh bahu Aruna. "Runa, Rena bener-bener minta maaf. Rena nggak tau apa masalahnya, tapi please apapun itu, Rena mohon supaya Runa maafin Rena."

Aruna tak membalas pelukan Rena. Luka yang satu minggu lalu pernah mampir, rasa-rasanya kembali robek dan semakin memborok karena tertusuk benda tajam lain. Bukan maksud Aruna jadi pendendam, bukan keinginannya untuk terus mengungkit kesalahan itu. Barangkali, mengucapkan dan menyugesti diri agar menerima hal-hal yang telah melukai hati bisa semudah mengembuskan napas. Namun, untuk sungguh-sungguh ikhlas dan memaafkan dengan segenap hati, membutuhkan waktu yang lebih dari sekadar mengucap kata untuk menyembuhkan luka yang infeksi.

Ia tidak bisa berdusta, Aruna tidak mampu terus berjibaku untuk menolak bujukan hati. Rasanya, ia pun sudah lama ingin berdamai dan bercerita bahwa dia tak sekuat ini. Menyimpan kesal dan sakit hati, kenyataannya lebih menyesakkan dari pada berupaya untuk meminta maaf lebih dulu. Seharusnya, Aruna pun paham bahwa luka tidak akan benar-benar sembuh jika durinya tidak dicabut lebih dulu. Percuma berusaha menyembuhkan diri sendiri dari infeksi kalau ia tak mencabut penyebab sumber rasa sakit itu.

[ON HOLD] Di Balik KulminasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang