Menyelami Kisah
di Balik Rumah yang Terbakar
***
Instrumen piano mengalun lambat. Setiap bagiannya seakan mengiris-iris kepedihan yang tersimpan dalam ruangan itu.
Bersamaan dengan kepalanya yang tengadah ke langit-langit, mata Aruna mengerjap berkali-kali. Air mata yang sejak tadi ditahan-tahan untuk keluar, pada akhirnya berhasil membobol pertahanan wanita itu.
"Waktu itu, Ibu benar-benar shock. Terus menyesali keadaan, kenapa beliau terlalu kolot dan nggak memercayai yang namanya teknologi. Dia menghina diri sendiri, bahkan menyalahkan soal latar belakang pendidikan beliau yang cuma tamat SD. Saya bilang, 'Ibu, Aruna di sini. Dan semua yang terjadi sama sekali bukan salah Ibu.' Tapi beliau keukeuh. Maksa, ini salah dia. Waktu itu, saya benar-benar bingung, nggak tahu harus bagaimana. Apalagi keadaannya pun saat itu, saya masih SMA dan belum banyak pengalaman." Aruna kembali menjelaskan. Ada getar dalam nada bicaranya seakan bakal pecah dalam hitungan detik saja.
Menerima sapu tangan yang diulurkan sang pembawa acara, Aruna menghapus tetesan air mata yang terlanjur jatuh. Ia mengambil napas, terdengar suara tarikan lendir yang juga ikut naik lebih dalam di hidungnya. Lidah Aruna bermain, membasahi bibirnya yang sedikit mengering. Seakan tiap kata yang akan dikeluarkannya terasa begitu berat, Aruna kembali menarik napas.
"Nggak dipungkiri meski saat itu, alhamdulillah-nya, Ibu masih punya kalung emas sekitaran lima belas gram buat dijadiin modal, kondisi Ibu yang saat itu masih agak shock, nggak bisa langsung dengan mudah kembali membangun usaha. Saya pun yang jujur aja, rasanya mau ikut berkabung atas terbakarnya rumah kami, seakan ditekan keadaan bahwa ini bukan saatnya terus-terusan berduka cita.
"Konflik keluarga memang bahasan paling sensitif buat dijadiin curhatan dengan teman sebaya. Tapi saya bisa apa? Teman saya, ya, hanya yang di sekolah itu. Saya terlalu bingung dan sempat stress sendiri bagaimana harus menghadapi ini. Saat itu, 'penyakit-merasa-sendiri-dan-seolah-kesepian' kembali menggerogoti kepala saya, menghalau langkah saya buat 'menyembuhkan' diri sendiri. Tapi sekali lagi, saya bisa apa, gitu loh? Kalau saya sendiri nggak bisa membangkitkan semangat saya, bagaimana bisa saya berharap orang lain membangunkan saya dari keterpurukan? Toh, mereka pun sudah sibuk dengan urusan masing-masing. 'kan?"
Kali ini, nada bicara Aruna terdengar lebih terjaga. Meski, suara itu masih terdengar serak akibat ulah tangis yang sebelumnya jatuh dari kedua mata wanita itu.
Mendengar tanya skeptis yang, tentu saja, tak memerlukan jawaban itu, si pembawa acara mengangguk sekilas. Sebelah tangannya diletakkan di bahu sofa, sebelahnya lagi dibiarkan menempel di atas paha.
"Jejak pernah mendengar sebuah kutipan singkat. 'Jika kita tidak bisa me-move-on-kan diri dari masalah yang terjadi di masa lampau, bagaimana bisa untuk tetap berjalan tegak di sisa hidup yang diberikan Tuhan?' Jejak menyetujui pernyataan itu—dan permasalahan yang sebelumnya Aruna ceritakan seakan memberikan ilham baru untuk membuka pintu yang sebelumnya masih tertutup. Jejak mengerti ini memang benar-benar tidak mudah. Lalu meski begitu, bagaimana cara seorang 'Aruna Remaja' dalam menyikapi masalah ini? Bukankah itu terlalu berat bila dihadapi oleh remaja seusia Aruna?" tanya itu terlontar begitu saja dari mulut si pembawa acara. Seakan memang sudah disiapkan sejak berjam-jam sebelumnya meski dengan cara yang terdengar penuh kehati-hatian.
"Ilham itu datang dengan sendiri. Sibuk dengan mengasihani diri karena masalah yang saya hadapi, saya jadi terlalu meraba-raba dalam mencari jalan buat menyelesaikan semuanya. Saya memutuskan buat hidup sewajarnya, belajar lebih giat, tetap ngobrol ala kadarnya dengan teman di sekolah, berusaha menunaikan janji saya kepada Ibu untuk menjadi orang sukses, dan meskipun begitu, meski kedatangan masalah itu mengacaukan hidup kami, ibu saya dan saya, sedikit-sedikit saya mulai bersyukur di masa kini karna berkat masalah itu, pandangan saya tentang hidup berangsur-angsur berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Di Balik Kulminasi
Ficción GeneralDi balik kulminasi, berarti di balik puncak tertinggi. Jejak Inspirator kembali mengundang seorang penulis, pencipta lagu, pemilik perusahaan penerbitan, dan pendiri sekolah penyandang disabilitas, bernama Aruna Vimala. Masalahnya tidak...