Dua Dua. Satu

14.6K 756 9
                                    


Memuakkan dan membosankan adalah kata yang tepat menggambarkan suasa hatiku siang ini. Aku merasa muak dengan percakapan dua pebinis tua di depanku yang sibuk membicarakan wanita simpanan mereka. jika diriku yang dulu mungkin aku akan ikut merespon percakapan mereka, tapi tidak kali ini. Karena aku sudah berjanji pada Chika dan diriku sendiri bahwa aku tidak akan menyentuh wanita lain kecuali Chikaku.

Bosan. Tentu aku sangat bosan sekali karena aku harus melihat wajah keriput mereka dan perut buncit yang saling berlomba satu sama lain. Aku rindu Chikaku, aku ingin mencium bibir ranumnya, aku ingin menghirup aroma tubuhnya dan aku ingin menyentuhnya. Satu jam tidak melihatnya, terasa seperti satu tahun. Dia berhasil membuatku tergila-gila dengannya.

Aku menyesap cangkir kopi sambil melirik jam di tangan kiriku. Jam satu lebih sepuluh menit, Chika pasti sudah kembali dari makan siangnya bersama Crystal. Aku ingin menemuinya segera.

"Baik. Saya harus kembali terlebih dahulu," ijinku sambil berdiri dari tempatku, diikuti dua pria di depanku, "terima kasih atas waktunya. Sedang berkerja sama dengan kalian." Aku menjabat tangan mereka berganti dengan menampilkan senyuman bisnisku.

Dengan segera aku kembali ke kantorku bersama Rekka. Tanpa memperdulikan apapun, aku bergegas ke lantai teratas, ruanganku. Entah mengapa selama perjalanan kembali ke kantor perasaanku terasa tidak enak. Ada sesuatu yang membuat dadaku sesak, tapi aku tidak tahu apa itu. Bayangan Chika mulai hadir setiap kali rasa gelisah ini merasuk. Wajah sedih dan ketakuatannya muncul silih berganti.

Aku berdiri di tengah ruangan Chika, tapi aku tidak menemukan keberadaannya. Aku mengambil ponselku dan segera menghubunginya. Tak ada jawabaan pada dering ketiga, dimana ia selalu mengangkat panggilanku. Aku memutus sambungan dan mencobanya sekali lagi.

"Maaf, nomor yang anda hubungi tidak dapat menerima panggilan, cobalah beberapa saat lagi." Suara operator terdengar pada nada kelima. Aku memutuskan sambungan itu kembali dengan makian yang keluar dari mulutku.

Aku melonggarkan dasiku yang saat ini terasa begitu erat membuatku tercekat, sambil terus menghubungi nomornya yang masih saja tidak tersambung. Aku berjalan mengelilingi ruangannya sambil menggaruk kepala belakangku yang tidak terasa gatal.

"Kartika, kenapa tidak datang?" Crystal muncul dengan membawa sebuah gelas kertas besar dari kafe sebrang. Aku menatapnya bingung dengan kaliamat yang keluar dari mulutnya.

"Apa maksudmu tidak datang? Chika sudah pergi sebelum makan siang," ujarku yang terdengar mengintimidasi. Aku menatap tajam Crystal yang saat ini terdiam dengan rahangnya yang mengeras dengan genggaman pada gelasnya yang mengerat.

"A ... aku tidak bersamanya," gumamnya pelan, membuatku memicingkan mata dengan menaikan sebelah alisku.

"Apa maksudmu tidak bersama? kalian pergi bersama. Kamu harusnya bersama dengan Chika," ucapku meminta penjelasan sambil berjalan mendekaatinya secara perlahan.

"Harusnya. Kita tidak datang bersamaan," jawabnya sambil mundur satu langkah setiap aku mendekatinya, "kita janjian bertemu jam dua belas. Ia pergi dulu karena tidak enak badan."

"Tidak enak badan?" Aku berhenti di depannya yang berjarak beberapa langkah.

"Tadi pagi, Kartika bilang tidak enak badan, jadi aku menyarankannya untuk ke klinik untuk memeriksakannya."

"Kamu membiarkannya pergi sendiri?" Aku menggenggam erat tangannya yang bebas tanpa memperdulikan ekspresi kesakitannya. Saat ini amarahku mulai naik.

"Tidak. Aku hendak menemaninya, tapi ia melarangku. Ia ingin pergi sendiri dan tidak ingin merepotkan orang lain," jawabnya sambil berusaha melepaskan tanganku seakan ia ingin kabur dariku.

Her Sweet Breath ✔ ( TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang