Tok!TokTokTok!
Farrel mengetuk pintu rumah Syilla dengan tak sabaran. Tapi tidak ada tanda-tanda orang dari dalam, yang ingin membukakan pintu untuknya.
"Apa pada pergi ya? Kosong nih kayaknya" ucap Farrel kecewa. Ia kemudian berjalan kembali ke mobilnya. Tak lama ia mendengar deru mesin mobil yang datang dari arah berlawanan.
'Itu kan mobil Syilla. Untung deh gue belum pergi dari sini' pikirnya. Farrel memutuskan untuk menunggu Syilla sampai keluar dari mobilnya. Setelah itu ia dapat langsung mencegatnya.
"Syilla, tunggu" ujar Farrel setengah berteriak. Syilla menolehkan wajahnya dan ber-ekspresi datar plus dingin.
"Ngapain lo kesini?"
"Syl, aku udah tau yang sebenernya. Ini semua cuma akal-akalan Tyana buat misahin kita. Dia cuma cemburu da--"
"Dan apa? Lo juga tau siapa ayahnya? Atau, lo emang udah tau dariwal?" Ucap Syilla menyelak.
Farrel membelalak, "Syl, lo salah paham. Gue juga baru ta--"
"STOP! Lo sama aja sama dia. Munafik. Lo deketin gue layaknya PDKT, dan perlakuin gue seperti pacar lo sendiri. Manis dan romantis. Tapi, di sisi lain lo BERSAHABAT, sama anak dari pembunuh keluarga gue! Lo deket sama dia, seakan-akan lo dukung dia. Lo jahat! Jahat! Gue gak mau kenal lo lagi sampai kapan pun. Hikss..."
Syilla berlari masuk dalam rumahnya. Ia tak mempedulikan teriakan Farrel yang terus menyebut namanya.
BRAKK!
Syilla membanting pintu rumahnya dengan keras. Isakannya sangat mempengaruhi pikirannya untuk terus marah dan kecewa. Syilla merasakan otot kakinya melemas dan tak dapat berjalan mencapai kamarnya.
"Syl, lo salah paham. Tolong dengerin penjelasan gue. Gue juga baru tau hal ini. Jangan tinggalin gue lagi, Syilla. Gue cinta sama lo. Gue sayang sama lo. Jangan kayak gini, Syl. Beri gue kesempatan" perlahan Farrel meneteskan air matanya. Ia bersandar dipintu rumah Syilla, sama halnya dengan Syilla. Kini mereka hanya berbatas pintu kayu.
"Hikkss.. pergi! Cepet pergi!" Ucap Syilla masih dengan tangisannya. Mendengar pernyataan cinta dari Farrel membuat tangisannya makin menjadi-jadi. Tapi bagaimanapun juga dia harus tetap menahan diri akan perasaannya.
Ia tak mau mencintai orang yang salah. Terutama Farrel, yang berteman dengan anak dari pembunuh keluarganya."Kapan ini semua berakhir? Gue capek. Ngeliat mommy, daddy, dan kak Helena bersimbah darah aja, gue udah berasa gak waras. Dan sekarang gue malah jatuh cinta sama orang yang salah. Kenapa kisah keluarga gue jadi kayak gini! Bahkan daddy dan mommy gak bisa dampingin aku wisuda, dan menikah nanti. Daddy udah janji kan, kalau mau milihin cowok terbaik buat Syilla! Mommy juga janji buat ajarin aku semua hal tentang ibu. Terutama masak. Semua itu harus kalian yang ngajarin! Kenapa daddy sama mommy sekarang malah gak ada! Kalian bohong! Kal..kalian bo..hong.. hikss"
Syilla memeluk erat gulingnya. Ia sekarang sudah sampai dikamarnya menggunakan segenap kekuatan dalam dirinya. Sesekali ia membekap wajahnya dengan bantal dan berteriak sekencang mungkin layaknya berada di puncak tebing. Ia mengamuk dan menangis histeris dengan bebas karena kini rumahnya kosong total. Semua orang sedang dalam kesibukannya masing-masing.
Tring!
Syilla menoleh kesumber suara yang ia kira berasal dari meja belajarnya. Namun ia tak mendapati apapun disana. Syilla bangun dari duduknya dan berjalan berjinjit-jinjit. Rasa penasaran lah yang membuatnya berani berjalan mengendap-endap dirumah yang sedang kosong ini.
Syilla kini sudah sampai didepan kamarnya. Ia memutuskan untuk mencari diluar kamarnya. 'Aneh. Apa ada hantu?' batinnya.
DRAP!DRAP!"Haah! Siapa disana!" Jerit Syilla. Kini ia merasakan keringat mulai bercucuran di dahinya. Ia kaget dan takut. Terlebih lagi ia melihat sekelebat bayangan putih yang lewat didepannya.
'Aduh, kalau begini horornya. Gue nyesel deh, udah keluar dari kamar. Yap! Mending gue balik ke kamar dan tidur pulas nungguin semuanya pulang' pikirnya. Syilla membalikkan badannya dan melangkah menuju kamarnya kembali. Setelah mulai mendekati kamarnya, ia segera mempercepat langkahnya.
Syilla membuka pintu kamarnya dengan cepat dan menutupnya. Jantungnya masih berdegup dengan kencang dan tak beraturan. Ia mendeteksi seluruh isi kamarnya dengan detail. Berharap tidak menemukan apapun yang menjanggal. Namun, keberuntungan tidak bersamanya sekarang. Syilla menatap takut setengah mati ketika melihat sosok perempuan duduk ditepi kasurnya. Dan tentu pakaiannya serba putih. 'Ya Allah. Cobaan apa lagi ini' batinnya pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL
Romance"Can we just be together as well? Respect my feeling please?" -S. Henley.