8

1.3K 96 18
                                    

Nindi memandang nasi goreng yang tak berbentuk itu, kotoran dimana mana, bau sedap yang tergantikan dengan bau yang tak jelas, lalu matanya menatap kakinya lamat lamat, kemudian beralih kejari jari nya dan lengannya. Ia juga termenung karna sudah bangun lebih pagi, bertempur didapur, datang terlambat, tak diijinkan masuk ke kelas, tak mendapatkan materi tambahan, dibentak oleh sang pujaan dan berakhir menangis sendirian.

" Usaha gue, pengorbanan gue dan perhatian yang gue kasih ternyata tak cukup buat disebut layak untuk dihargai. "

Ia memasukkan kotak bekal yang sudah terbuang kedalam tasnya, lalu menghapus kasar air mata yang masih mengalir dipipinya. Wajahnya kini terlihat jelas habis menangis dan jangan lupakan noda tanah juga ikut menghiasa wajahnya. Kalian tak lupa kan kalau tangan Nindi tadi kotor karna memungut nasi gorengnya?

Walaupun terlihat dekil dengan mata sembab, hidung merah, pipi merah karna menahan emosi, Nindi tetaplah Nindi. Seorang gadis yang miliki wajah imut yang akan selalu setia pada sang pujaaan. Tak perduli seberapa sakit yang harus ia rasakan asal pujaannya senang. Masokis.

Perlahan lahan ia bangun sambil memegangi lututnya dan mulai menggerakan kakinya kedepan dengan pelan karna dia pincang. Lukanya akibat minyak goreng masih belum sembuh dalam hitungan jam.

" Minyak goreng aja bisa nyakitin apalagi doi. Huftt... "

Nindi terkejut saat melihat Gilang masih berdiri beberapa langkah darinya. Lelaki tersebut menatap Nindi dengan tatapan seolah mengatakan-aku-minta-maaf- tapi tentu saja tak terucap.

Nindi  tetap berjalan dengan pandangan menunduk, namun saat sudah sejajar dengan Gilang, wajahnya ia dongakkan melihat Gilang yang masih terdiam.

Sebuah senyuman tulus tercipta dibibirnya saat menatap Gilang. Lebih tepatnya seperti sebuah senyum paksaan dan dipaksa tersenyum. Semacam ikhlas tak ikhlas lah menjalankannya.

" Gue duluan ya, Lang. " sapa Nindi pada akhirnya dan lanjut berjalan dengan kaki yang pincang.

Baru beberapa langkah Nindi meninggalkan Gilang, lelaki tersebut membuka suaranya dengan nada yang dingin.

" GAK USAH CAMPURIN URUSAN GUE! BERHENTILAH USAHA, KARNA SEMUA YANG LO LAKUIN ITU SIA SIA DAN GAK AKAN PERNAH BERARTI BUAT GUE. "

Bagaikan disambar petir, namun siapa yang peduli? Nindi hanya terdiam beberapa saat dengan sebuah senyuman miris. Ia berbalik menghadap Gilang yang menatapnya tak suka.

Lagi lagi Nindi tersenyum dengan tulus didepan sang pujaan, walaupun bibirnya sudah bergetar menahan tangisan dan matanya berkaca kaca ia tetep terlihat biasa saja didepan Gilang.

" Y-ya. Maaf. " katanya dengan suara lirih namun masih terdengar ditelinga Gilang.

Nindi membalikan badan membelakangi Gilang. Ia mencoba tetap mempertahankan senyumannya namun sebuah tangisan mana bisa ditutup tutupi? Sebaik baiknya kalian menyembunyikan tangisan, tetap saja semua orang akan tau kau menangis.

Air matanya jatuh dengan deras membasahi pipinya. Ia menggigit bibir bawahnya guna mencegah datang nya suara isakan. Namun tetap saja isakan itu keluar.

" Persetan sama kaki pincang. Gue gak peduli. Sakit dihati gue lebih penting. "

Nindi langsung berlari dengan terseok seok, ia mengabaikan rasa perih dikakinya dan tetap berlari. Tujuannya kali ini adalah ke toilet untuk membersihkan wajahnya yang kotor.

Saat ingin masuk kedalam toilet ia bertabrakkan dengan sesorang.

" M-maaf. Gue gak liat ta- Nindi? "

Do You Think It Makes Sense?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang