1

28.7K 904 9
                                    

Perempuan berambut panjang pirang itu mengadukan kedua jari telunjuknya berkali-kali. Ia sedang dalam perjalanan menuju bandara, dimana ia akan menemui kekasihnya yang sudah menjadi kekasihnya hampir selama setahun ini.

"Tenang aja, dia cuma ke Malang kok." Perempuan itu bergumam.

"Nessa...sayang." Panggil sang Ibu.

Nessa yang awalnya menundukkan kepalanya pun mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah sang ibu yang sedang menyetir mobil untuk mengantarkan sang anak paling bungsu. "Iya, bu?"

"Kamu jangan nunduk terus dong. Patra cuma ke Malang doang, gak kemana-mana, Nes. Hatinya juga pasti cuma netap di kamu doang." Ibunya memotivasi.

Nessa hanya tersenyum samar ke arah ibunya. Perasaan takut dan sedih bercampur menjadi satu. Menjadi perasaan yang benar-benar tidak Nessa mengerti.

Ingin rasanya Nessa memaksa Patra untuk jangan mengambil Fakultas Hukum di Malang, tapi apa daya, Patra diterima oleh salah satu Universitas terkenal di sana melalui jalur SNMPTN. Mau memintanya untuk mengambil Fakultas Hukum di Jakarta pun juga tidak mungkin. Karena pasti Bunda-nya tidak akan memperbolehkan Patra untuk tetap di Jakarta.

Setelah menempuh waktu yang cukup lama ke bandara, dan membelah jalanan bersama sang ibu dengan mobilnya, akhirnya Nessa dan Ibunya sampai.

Jantung Nessa berdegup lebih kencang dari sebelumnya.

Nessa melirik sebentar jam yang bertengger di pergelangan tangannya, untuk memeriksa jam berapakah sekarang.

Jam sembilan, masih punya satu jam buat abisin waktu sama kak Patra. Batin Nessa.

"Nes...kamu udah tanya Patra belum, dia dimana?" Tanya Ibunya sebelum mereka turun dari mobilnya.

"Udah, bu. Kak Patra ada di resto, katanya lagi makan." Balas Nessa lembut.

Nessa dan Ibunya pun turun dari mobil, dan langsung berjalan ke arah restoran yang Patra maksud. Tangan Nessa dingin seketika, dan jantungnya bahkan lebih cepat dari yang barusan. Ia tidak bisa menahan rasa gugupnya untuk merelakan Patra yang akan menetap di Malang.

Mereka pun sampai di restoran yang mereka tuju. Nessa langsung mendatangi Patra dan keluarga, Ibunya Nessa pun langsung mengobrol dengan Ibunda dari Patra.

"Eh, Nessa. Jangan galau-galau, Nes!" Ledek Adriana yang kebetulan memang ikut.

"Hahaha, iya, Dri. Tenang aja." Balas Nessa terpaksa.

"Nes, ikut yuk." Patra langsung menarik tangan Nessa untuk memisahkan diri dari keluarganya.

Selepas mereka keluar dari restoran tersebut, Patra langsung menautkan jari-jarinya di sela-sela jari Nessa. Tak ingin melepaskan jari-jari milik perempuan yang benar-benar ia sayangi ini.

Nessa yang digandeng hanya terdiam dan membisu. Tidak bisa mengeluarkan sepatah kata karena hatinya sangat deg-degan, Patra menggandengnya terlalu erat. Tapi tak apa, untuk menghabiskan waktu terakhirnya bersama Patra di Jakarta sebelum akhirnya Patra menetap di Malang.

"Kak, berapa tahun di sana?" Tanya Nessa tiba-tiba.

"Empat," balas Patra singkat.

Patra memang begitu, sifatnya dingin. Sama seperti ayahnya, Vanno. Memang Vanno bukanlah ayah kandungnya, tapi tak tau mengapa, sifatnya mengikuti sifat Vanno yang dingin. Dengan pengecualian, ia tidak akan sedingin biasanya bila bersama Arez atau adik-adiknya.

"Lama juga yah," gumam Nessa sambil mengumpat perasaan sedihnya. "Berarti kita bakal jarang ketemu, ya."

"Lama bukan berarti jarang ketemu, Nes."

IrreplaceableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang