8

5.9K 374 1
                                    

Pagi itu, Patra langsung memesan tiket pesawat untuk terbang ke Jakarta. Kebetulan, ia sudah memasuki 3 minggu liburnya, jadi ya tidak apa-apa. Ia membayar tiket pesawat yang ia pesan dengan uang jajannya yang selalu ia sisihkan. Demi bertemu Nessa, dan keluarganya.

Pukul 12.45 siang, Patra sudah berada di dalam pesawat siap untuk pergi menuju Jakarta. Hatinya berdetak tak karuan. Ia tidak mengerti dengan perasaan ini. Mungkin, karena ia dan Nessa jarang bertengkar. Maka dari itu, ia deg-degan tak karuan. Ia menenangkan dirinya hanya dengan berdiam diri tanpa bersuara. Karena itulah cara satu-satunya yang paling ampuh.

Sekitar 2.5 jam kemudian, ia sudah menginjakkan kaki di tanah Jakarta, tempat ia lahir dan dibesarkan oleh orang tuanya. Ia langsung beranjak ke tempat pengambilan bagasi, lalu menunggu koper miliknya muncul untuk ia bawa pulang. Dan tak lama, kopernya muncul, lalu ia ambil dan ia bawa. Patra pun meneruskan langkah kakinya keluar dari bandara untuk menemui seseorang yang telah berjanji akan menjemputnya.

Tepat saat Patra keluar, ia melihat dengan jelas orang yang sudah berjanji akan menjemputnya. Orang itu berpakaian santai dengan kertas yang sedang ia pegang di depan dadanya bertuliskan 'PATRA MANA PATRA'. Patra terkekeh sambil menghampiri orang itu.

"Woy, bro." Patra memeluk orang itu sambil terkekeh akibat tulisan tadi di kertas.

"Udah lama, ya. Enam bulan." Orang itu membalas.

"Gimana, Van, kabar lo sama Adriana? Baik-baik aja kan? Maaf banget nih gue minta jemput lo. Karena gue gak tau harus minta jemput siapa lagi selain lo. Gue ke sini dadakan soalnya." Maaf Patra.

"Gue baik-baik aja sama Adriana, Pat." Gavan tertawa. "Sok-sok sungkan lo sama gue. Biasa aja. Selow."

Gavan menunjukkan letak di mana mobilnya terparkirkan dengan semestinya kepada Patra. Mereka pun berjalan beriringan berdua menuju mobil Gavan. "Jadi, lo mau pulang dulu apa langsung ke Nessa?" Tanya Gavan sesaat setelah ia duduk di kursi pengemudi sambil memasang sabuk pengaman.

"Enaknya kemana dulu?" Tanya Patra balik karena merasa bingung.

"Yaaaa, masa lo nanya gue, sih. Otak pinter doang, tapi kalau nyelesaiin masalah langsung dongo." Ejek Gavan.

"Sialan." Keduanya tertawa. "Ke rumah dulu aja, deh. Gak baik ngeduain orangtua."

"Alah, bahasa lo sok ketinggian." Ejek Gavan lagi. Keduanya tertawa lagi.

○○○

"Assalamu'alaikum!" Seru Patra sesampainya ia di rumahnya sambil membuka pintu depan rumahnya yang tak terkunci-diikuti oleh Gavan dari belakang.

"Wa'alaikum-Eh, Patra!" Rere tersenyum lebar mendapati anaknya berada di depan matanya setelah 6 bulan lamanya tidak bertemu. Rere langsung berlari pelan ke arah Patra dan langsung memeluknya. "Bunda kangen, Nak." Rere memeluknya dengan sangat erat.

"Patra juga kangen, Bun." Patra mengeratkan pelukannya pula. Gavan, ia hanya tersenyum-senyum memandangi pemandangan indah ini dikarenakan ibunya telah tiada.

"Kamu kok gak bilang bunda, sih, mau pulang?!" Tanya Rere sambil menangkup kedua pipi anaknya.

Patra hanya terkekeh, "Kan kejutan, Bun. Emang bunda gak mau kejutan dari Patra?" Patra memeletkan lidahnya kepada Bunda-nya. Rere hanya mendorong pelan pipi Patra sambil tertawa.

Saat itu, Patra pun menyapa seluruh keluarganya. Mulai dari kembarannya, adiknya, dan Ayahnya. Ia disambut dengan kehangatan, walau ia datang tiba-tiba. Ternyata, semua keluarganya merindukan kehadiran dirinya. Karena tanpa dirinya, keluarga itu terasa beda.

IrreplaceableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang