25

5K 292 2
                                    

Tok. Tok. Tok.

Nessa beranjak dari kasurnya, lalu membukakan pintu untuk seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. "Kenapa, kak?" Tanya Nessa saat melihat kakaknya yang mengetuk pintu kamarnya.

"Nih, Patra," Tiara memberikan ponselnya yang sedang ditelfon Patra.

Nessa terdiam beberapa detik lalu baru mengambilnya, "Makasih, kak."

Tiara mengangguk, "Jangan lupa dibalikin loh."

"Sip!" Nessa mengacungkan jempolnya kepada Tiara.

Ia mulai menutup pintunya dan berjalan masuk. Ia menempelkan ponsel Tiara di telinganya, "Apa?" Tukas Nessa sinis.

"Kamu habis dari mana sama Abrar? Habis ngapain aja?" Tanya Patra langsung seperti mengintrogasi seorang penjahat. "Jujur!" Tambah Patra agak membentak.

"Habis ngapain aja? Maksudnya?" Tanya Nessa balik karena tidak mengerti maksud Patra.

"Ya, apa aja. Tiap hari. Ngapain? Ngapain aja?"

"Cuma main. Berdua. Seneng-seneng. Dan..," Nessa menggantungkan ucapannya.

"Dan ciuman?" Tanya Patra langsung.

Kening Nessa mengerut, ia menautkan kedua alisnya. "Apaan, sih? Nelfon langsung nuduh gak jelas."

"Aku gak nyangka, kamu sejahat itu sama aku, Nes. Makasih, ya."

"Apaan sih!" Bentak Nessa. "Gak usah nuduh Nessa yang nggak-nggak! Kalau Patra sendiri yang selingkuh! Gak usah mencoba untuk nuduh Nessa biar Patra lepas dari Nessa!" Mata Nessa mulai dilapisi sebuah lapisan bening yang bisa pecah kapan saja.

"Siapa yang selingkuh, sih?! Kamu gak nyadar diri?! Aku punya bukti, Nes! Punya! Gak usah mengelak biar gak ketahuan selingkuh!" Patra tak mau kalah.

Kedua ego manusia itu sama-sama tinggi. Biasanya, bila seperti ini, Nessa akan mengalah. Tapi sepertinya, malam ini ia tidak akan mengalah. Karena ia sama sakitnya dengan Patra.

"Aku juga gak suka kamu ngancem-ngancem Bella, Nessa!" Tambah Patra.

"Ngancem? Huh, ngancem?! Kata siapa aku pernah ngancem dia?! Gak pernah! Bahkan untuk chat dia aja Nessa ogah! Buang-buang energi berharga!" Bentak Nessa lagi dan lagi.

"Aku ada bukti, Nes. Semuanya. Aku punya bukti." Ujar Patra dingin.

"Terserah," Nessa pasrah. "Gak usah sok cari masalah kalau cuma mau lepas dari Nessa. Patra mau dilepasin? Nessa lepasin sekarang, biar Patra bisa sama dia," tukas Nessa dingin.

"Kamu mau lepasin aku? Biar kamu bisa sama Abrar kan? Ya kan!" Nada bicara Patra benar-benar naik.

"Nessa gak pernah punya niatan selingkuh, Wirapatra Pratama! Gak bisa kah Patra percaya sama Nessa yang Patra sendiri udah kenal Nessa luar dalamnya gimana!" Air mata meluncur dari kelopak mata Nessa dengan mulus. Hatinya sakit mendengar ucapan-ucapan Patra.

Nessa mendengus, "Dari awal Nessa juga udah ngira, Patra gak akan kuat ldr."

Patra terdiam. Nessa terdiam. Kini, keheninganlah yang mengambil peran. Membiarkan keduanya sama-sama berfikir, apa yang harus dilakukan untuk kelanjutan hubungan ini.

"Kayaknya..," Nessa mulai membuka suara. "Kita emang gak bisa nerusin ini. Kita udah mulai saling kehilangan kepercayaan satu sama lain."

Patra menghela nafasnya dengan berat, "Oke." Ucap Patra yang tidak disetujui oleh hatinya.

Sebuah panah tepat menancap di hati Nessa. Satu kata yang terucap dari bibir Patra, membuat seluruh dinding kepercayaan, kasih sayang, dan cinta nya roboh begitu saja secara bersamaan.

Ia tak menyangka, hubungan ini akan berakhir sia-sia. Berakhir dengan masalah yang bahkan mereka berdua tidak mengerti.

"Oke," tambah Nessa dengan suara bergetar.

Di sana, Patra sama sekali tidak tahan. Rasanya ingin sekali ia menarik Nessa ke dalam dekapannya. Ia tak kuat mendengar tangis Nessa. Ia tidak kuat untuk membuat Nessa menangis. Ia tidak kuat untuk kehilangan Nessa.

"Kita sampe di sini aja," lirih Nessa.

Klik.

Nessa memutuskan telfonnya dengan Patra. Ia langsung melipat kedua kakinya ke depan dadanya dan mulai memeluknya. Tangisnya memecah. Hanya itu satu-satunya cara Nessa untuk menyalurkan kesedihannya.

Menangis. Sendiri.

Begitu pula dengan Patra. Air mata mulai terjatuh dari kelopak matanya. Baru kali ini, ia menangis. Karena perempuan yang begitu ia sayangi.

Ia menundukkan kepalanya, lalu memecahkan tangisnya saat itu juga. Ini adalah saat di mana Patra menunjukkan sisi paling lemahnya, sisi paling rapuhnya, sisi paling cengengnya.

Ia terisak. Sangat terisak. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya dan Nessa benar-benar berpisah.

"Gue yakin, pasti jalan cerita gue sama Nessa sebenernya gak kayak gini..."

"Gue yakin, pasti jalan cerita gue sama kak Patra sebenernya gak kayak gini..."

Ucap keduanya bersamaan di kota yang berbeda.

○○○

"Nes, daritadi gue cariin," ucap Abrar sambil ngos-ngosan karena berlari kesana kemari mencari keberadaan Nessa yang ternyata berada di taman belakang sekolah sedang berdiam diri. Ia pun duduk di sebelah Nessa.

"Loh, kok nangis?" Abrar menarik dagu Nessa agar menoleh ke arahnya. Nessa menunduk sambil terisak. Lagi-lagi, Abrar menariknya ke dalam dekapannya. "Itu bener dia emangnya?"

Nessa menggeleng, "Terus siapa?"

"Bu, bukan itu." Ucap Nessa agal terbata.

"Terus apa, Nes? Kasih tau gue."

"Putus. Nessa putus sama Patra. Nessa Putus." Tangisnya tambah menjadi.

Abrar sempat kaget mendengar ucapan Nessa barusan. Ia mengelus punggung Nessa, "Gapapa, Nes. Gapapa. Mungkin emang waktunya lo untuk putus dulu. Siapa tahu, suatu saat nanti kalian jadi. Ya kan?" Abrar mencoba menyemangatinya.

Nessa mengangguk lagi. Abrar mulai melepas pelukannya, "Jangan nangis. Nih, mending makan. Gue beliin juga kok buat lo." Abrar memamerkan dua sterofoam dengan isi indomie ke arah Nessa. Nessa terkekeh.

"Makan bareng, ya." Abrar tersenyum manis. Nessa menyetujuinya.

○○○

"Pat, daritadi gue cariin," Bella langsung duduk di sebelah Patra yang sedang berdiam diri di kantin sendirian. Patra masih bungkam, enggan berbicara. "Kenapa, sih, Pat?"

"Plis, gue lagi gak mau ngomong, Bel." Balasnya seakan-akan berharap Bella untuk berhenti berbicara.

"Oke, gue berenti bicara. Tapi gue tetep di sini. Gapapa kan?" Patra masih terdiam. "Diam, gue anggap iya."

Sekitar 30 menit Patra terdiam, akhirnya ia buka suara. "Kalau lo diputusin, lo abis itu bakal ngapain?" Tanyanya tiba-tiba.

"Kalau gue murah, gue pasti bakal langsung cari cowok. Tapi, kalau gue sendiri sih, gue berdiam diri di kamar. Nangis seharian. Galau seharian. Tapi udahannya, ya udah. Gak lagi." Jelas Bella.

"Oke."

"Kenapa?" Patra menggelengkan kepala.

Terus, gue harus berdiam diri di kamar seharian? Nangis seharian? Galau seharian? Itu bukan tipe gue... batinnya.

○○○

Tangerang, 10 September 2016
11.08 PM

IrreplaceableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang