Revisi, 19.04.18
Jonathan POV
.............................
Sinar matahari yang muncul dari kisi-kisi jendela membuatku terbangun. Aku menyibakkan selimut lalu turun dari ranjang dan menghampiri kamar mandi. Membasuh wajah lalu aku turun ke dapur. Di atas meja sudah ada makanan yang disiapkan oleh istriku. Istri yang selama dua bulan ini menemaniku. Sayangnya, meski kami sudah berstatus nikah, interaksi yang biasa kami lakukan tak lebih dari dua orang asing yang hidup dalam satu atap.
Bukan mauku hal itu terjadi. Tetapi, aku tidak tahu caranya menanggapi. Caraku menunjukkan perhatian selalu gagal dan selalu berakhir pada kediaman. Sikapku yang terkesan dingin adalah karena aku tak mampu menunjukkan bagaimana perasaanku sendiri- ah, bukan itu. Yang sebenarnya adalah aku tidak tahu cara menunjukkannya.
Selama ini, aku hanya fokus pada pendidikan dan tuntutan ayah hingga lupa caranya menikmati hidup. Meski, tinggal jauh dari keluarga, hidup di negara bebas, tak serta merta membuatku terkubur dalam limangan hingar bingar kota NYC pun dengan kisah asmara dengan beberapa wanita yang tidak pernah kulakukan.
Aku benar-benar tidak pernah mendapatkan pengalaman dari hubungan serius, meski pun dikelilingi oleh banyak teman wanita. Pengalaman yang kudapatkan hanya berasal dari sahabat-sahabatku dulu, itu pun tidak ada satu hal yang bisa kucontohi.
Aku menghela nafas lalu mengambil air dan meminumnya. Makanan yang terhidang di atas meja makan terlihat enak. Meski tampilannya sederhana dengan toping telur yang diiris memanjang dan irisan sosis yang berbentuk bunga.
Aku menyuap sedikit dan ternyata Zahya tidak memakai bawang putih. Sekali lagi aku menyuap dan nasi goreng ini benar-benar enak. Aku mengambil piring dan menyendoknya lalu memakannya dengan lahap. Baru kali ini, aku memakan makanannya tanpa takut terkena alergi karena bawang putih. Tetapi, kalau dipikir-pikir ini juga karena kesalahanku sendiri yang tidak pernah memberitahunya. Yah, sejak awal aku terlalu tertutup padanya hingga ia tidak mengetahui apa-apa tentangku.
Jujur saja, sebenarnya selama ini aku sudah menyukainya, namun aku tidak bisa mengungkapkannya. Takut. Banyak pikiran-pikiran buruk yang berlalu lalang di kepalaku. Lagipula, bagaimana bisa aku mengatakan kalau aku menyukainya sebelum kami dijodohkan, sementara dia, pertama kali melihatku adalah ketika acara perjodohan itu? Apa yang akan dia pikirkan tentangku? Stalker? Atau penguntit? Atau mungkin juga orang gila. Itu tidak jadi masalah yang penting dia masih tetap bersamaku. Yang lebih aku takutkan adalah bagaimana jika ia pergi karena ketakutan oleh sikapku. Itu sulit untuk kubayangkan. Atau aku mungkin akan gila karena itu.
Bunyi suara pintu membuatku tersadar dari lamunan. Zahya datang dengan pakaian training. Bau dari keringat dan parfumnya menguar, dan secara perlahan membangkitkan gairah yang sudah lama kutahan. Aku berusaha memikirkan sesuatu dengan keras untuk mengalihkan semua pemikiran untuk sesegara memilikinya. Tetapi, bau feminim yang dia miliki terlalu menggoda untuk diabaikan.
Aku menghala nafas. Ini terlalu sulit. Aku butuh pengalihan yang lain untuk melupakan bau menggoda itu.
"Wah, tumben dia lahap. Ini sudah dua kalinya dia memakan makananku. Apa aku menaruh sesuatu yang membuat makananku begitu enak di matanya."
Aku menaikkan pandanganku dan menatapnya beberapa detik saat gumaman itu terdengar di telingaku. Lalu menurunkan pandanganku kembali ke makanan saat senyumku mengembang tanpa sadar.
"Apa kau jogging bersama Bagas lagi?"
Zahya mengangkat kepalanya dan menatapku lama. Keningnya mengkerut namun tetap menjawab, "Oh, iya. Kami sudah janjian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying To You
RomansGanti Judul Mengandung unsur 21+ Sebagian part di privat Zahya: Mungkin aku adalah perempuan tidak tahu diri yang mengharapkan cinta dari pria dingin dan egois sepertinya. Jonathan : Mungkin aku satu-satunya lelaki di dunia ini yang bodoh su...