Matahari bersinar terang. Sinarnya menyengat tepat di atas kepala. Musim panas memang sedang berada di puncak. Di kejauhan, terlihat dua orang yang wajahnya begitu ceria. Senyum mereka merekah dengan lebarnya, dan sesekali jerit bahagia dari sang gadis menggema di jalanan kosong ini.
Akira Clamanty dan Kean Alvaro sedang berjalan beriringan di sebuah jalan kecil. Entah kenapa jalan ini sangat sepi, tidak seperti biasanya. Walau populasi di Pittsford tidak banyak, tapi biasanya ada saja orang yang melintas. Hal ini sempat membuat Manty bingung dan ragu untuk memilih jalan pulang ini, tapi akhirnya Kean berhasil meyakinkannya.
"Sudah kubilang tidak ada apa-apa, kan? Tidak ada yang harus ditakutkan, Man. Kau hanya terlalu banyak berpikir," ujar Kean setelah melihat Manty sudah cukup tenang berada di jalan ini.
Manty mengangguk sekilas, lalu menoleh ke arah Kean dengan senyum manisnya. Lalu matanya menangkap sesuatu di belakang Kean. "Bunga matahari!" pekiknya girang saat melihat bunga matahari di seberang jalan. Manty memang penggila bunga matahari. Di mana pun dia melihat bunga itu, dia akan langsung melonjak girang. Sama seperti saat ini, dia sudah meloncat-loncat bagai bola yang dipantulkan ke lantai.
Kean melirik sekilas, lalu tersenyum dan mengusap kepala Manty. Tidak lama kemudian, dia sudah berada di seberang jalan untuk mengambilkan bunga matahari yang dilihat Manty tadi. Kean mengangkat bunga matahari itu tinggi dengan ekspresi penuh kemenangan setelah berhasil mengambilnya. Sedangkan Manty terus saja bersorak girang di seberang sana.
Beberapa langkah lagi, Kean akan tiba di depan Manty. Tapi suatu yang mengejutkan terjadi begitu cepat. Terlalu cepat hingga membuat Manty tidak bisa memercayai apa yang baru saja dilihatnya. Kean bersujud lemah di depan sana, dengan tangan mendekap bunga matahari. Tidak lama kemudian, cairan merah mulai mengalir deras dari mulutnya. Membuat wajahnya memucat dengan cepat dan akhirnya tubuhnya terbaring di aspal.
Manty terperangah. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Matanya belum mengedip sedikit pun, juga belum beranjak dari tubuh penuh darah Kean. Hingga suatu pergerakan membuatnya sadar. Seseorang berlari dengan cepat. Manty bisa melihatnya, namun tidak jelas. Tidak. Tidak ada yang jelas saat ini. Bahkan perasaannya sendiri terasa begitu gamang, termasuk kenyataan yang harus dihadapinya sekarang. Kean pergi dari hidupnya. Selamanya.
"KEAN!"
Manty terduduk di atas kasurnya dengan napas yang memburu, juga air mata yang memenuhi wajahnya. Tangannya bergetar hebat. Terlalu kencang hingga tidak bisa memegang apapun, dan akhirnya didekapnya di bibir.
"Manty! Manty!" seru Louie, sahabat yang tinggal serumah dengan Manty. "Kau pasti memimpikan kejadian itu lagi," lanjutnya saat Manty tak kunjung menjawab.
Melihat tatapan Manty yang masih penuh kengerian, Louie turun dari kasur yang mereka tempati dan bergerak ke arah meja kecil di dekat pintu untuk mengambil minum. Dia menyodorkan segelas air putih ke hadapan Manty, tapi gadis itu tidak merespons. Tidak. Manty masih terlalu syok untuk bergerak. Dia masih takut tangannya yang bergetar hebat itu akan memecahkan semua barang yang disentuhnya.
"Minumlah. Itu hanya mimpi," pinta Louie pelan. Tangannya bergerak meraih tangan Manty dan menaruh gelas itu di dalamnya. Tangan Manty kini sudah memegang gelas itu. Oh tidak, dia bukan hanya memegang, tapi menggenggam gelas itu dengan sangat erat. Bahkan terlalu erat hingga membuat Louie takut gelas itu akan segera pecah berkeping-keping.
"Tidak, ini bukan mimpi," bantah Manty lirih.
Benar, apa yang dialaminya bukan mimpi. Louie tahu betul akan hal itu. Bahkan dia yang selalu mengatakan hal itu pada Manty selama dua tahun ini. Hingga kini Manty sendiri bisa mengatakan kenyataan itu.
Ada sebersit kelegaan di hati Louie saat mendengar Manty mengatakan hal itu. Bukannya kejam, tapi setidaknya sahabatnya ini sudah mulai bisa menerima kenyataan. Tapi melihat keadaan Manty sekarang sungguh bertolak belakang dengan hal itu. Alih-alih menerima kenyataan, Manty bahkan belum memulai aktivitas di luar rumah selama dua tahun ini. Perkembangannya masih sekadar mulai berbicara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of You
General Fiction"Tidak ada cara lain untuk membebaskan diri dari masa lalu selain menghadapinya." Akira Clamanty memutuskan hubungan dengan dunia luar selama dua tahun, semenjak tunangannya terbunuh di depan matanya. Dengan darah yang terus mengucur hingga kelamaan...