16

14 0 0
                                    

Pengakuan Louie membuat Steve tersentak. Sungguh sesuatu yang tidak pernah dia sangka. Selama ini dia terus melihat ke arah Manty, tapi ternyata ada Louie yang selalu memperhatikannya. Dia terlalu berfokus pada Manty hingga menutup mata dari Louie, walau gadis itu sudah berkali-kali memberi tanda. Ingatan Steve melayang pada waktu-waktu yang dilaluinya bersama Manty dan Louie.

Hari itu matahari bersinar dengan sangat terang. Steve merasa dirinya dipenuhi semangat saat itu. Dia melangkahkan kakinya menuju kelas dan langsung memberikan salam dengan senyum lebar penuh kehangatan pada Manty dan Louie yang sedang mengobrol.

"Apa yang sedang kalian perbincangkan?"

"Dirimu," jawab Louie cepat. Beberapa detik kemudian, tawanya dan Manty terdengar memenuhi ruangan. Steve menyusul setelahnya. Lalu Louie mengeluarkan sebuah kotak makan dan menyodorkannya ke hadapan Steve. "Apa ini? Makanan?"

Louie mengangguk penuh semangat. "Untukmu. Kau pasti belum sarapan."

"Kau paham sekali dengan kebiasaanku. Terima kasih, Louie." Steve tersenyum sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada Manty. "Aku mendapat tiket pertunjukan musik klasik nanti malam. Kau mau ikut, Manty?"

Manty menghela napas lalu menggeleng pelan. "Sayang sekali. Aku sudah ada janji dengan Kean, Steve."

Wajah Steve terlihat begitu kecewa, Louie bisa menangkap itu dengan sempurna. "Aku bisa menemanimu kalau kau mau, Steve," tawar Louie.

Steve menoleh secara refleks. "Bukankah kau tidak suka musik klasik?"

Louie tersenyum kecil. "Aku sudah mulai mendengarkannya karena kalian berdua selalu membincangkannya."

"Benarkah, Louie? Aku bahkan tidak pernah mendengarnya di rumah," sela Manty.

Louie melebarkan matanya, seolah memberi peringatan pada Manty. "Kau tidak selalu mendengar apa yang kudengar, bukan?"

Steve hanya tertawa mendengar perdebatan mereka berdua. "Baiklah, akan kujemput kau nanti malam, Louie."

Sewaktu mereka bertiga sedang berkumpul di rumah Steve...

"Kau seharusnya melihat bagaimana wajahmu ketika dosen kita menyurhmu maju ke depan tadi, Manty. Wajahmu terlihat benar-benar merah," ledek Steve, mengingatkan kejadian tadi siang.

Baru pertama kalinya tadi Manty menahan malu karena tertidur di kelas dan dipanggil ke depan untuk menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak didengarnya. Manty memberengut mendengar ledekan Steve yang tidak hentinya dilontarkan sejak tadi. Berulang kali dia mengacungkan tangannya seolah ingin memukul, untuk memperingatkan Steve, tapi tidak ada gunanya.

Steve tergelak melihat ekspresi Manty. Namun, beberapa detik kemudian, suaranya beubah jadi jeritan. Dia mengaduh keras saat merasakan jari kakinya menjadi kaku. Kakinya diangkat tinggi dan wajahnya terlihat begitu kesakitan. Louie langsung meraih kaki Steve dan meluruskan jari-jarinya, sementara Manty terus tertawa terbahak-bahak.

"Makanya, jangan terus meledekku, Steve. Rasakan akibatnya." Manty kembali tertawa.

"Bagaimana? Masih sakit?" tanya Louie. Wajahnya penuh kekhawatiran.

"Sudah menghilang. Terima kasih, Louie. Kau sungguh jahat, Manty. Aku sedang kesakitan dan kau malah menertawaiku."

"Kita impas. Kau juga menertawakanku tadi!"

***

Steve ditarik kembali ke alam sadarnya. Bayangan-bayangan itu baru saja berlalu. Mengingat bagaimana ekspresi bosan Louie saat menonton pertunjukkan musik klasik itu, jelas menunjukkan bahwa dirinya tidak tertarik sama sekali. Kini Steve baru tahu, Louie melakukannya untuk menyenangkan Steve yang jelas kecewa saat itu.

Shadow of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang