Angin dingin berembus, menerbangkan rambut-rambut Manty yang sedang berdiri diam menikmati keheningan di tengah pemandangan yang menakjubkan. Tapi gadis ini tidak sekali pun merasa kedinginan, dia justru terlihat sangat menikmati suasana saat ini. Senyumnya mengembang sempurna, seolah tidak ada yang bisa merenggutnya saat ini.
Tapi tidak saat dia melihat sosok yang sangat dikenalnya di seberang sana, sedang duduk dengan seseorang di sampingnya. Dua orang itu terlihat begitu ceria, saling bercerita dan banyak tertawa, seolah hidup mereka sangat bahagia dan tidak ada yang bisa mengganggu hal itu.
Dari balkon tempatnya menginap, yang letaknya di bagian atas dekat bukit, Manty bisa mengamati segala sesuatu yang ada di bawah dengan jelas. Termasuk kafe tempat dua orang itu mendudukkan diri dan berbagi tawa. Melihat itu membuat tangan Manty terkepal erat, hingga buku-buku jarinya memucat cepat.
"Apa yang sedang kau perhatikan, Clam? Kenapa terlihat begitu serius?" tanya Jave yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Manty, membuatnya terhentak dan menoleh seketika.
"Tempat ini sungguh sangat bagus. Akan sangat menyenangkan bila bisa tinggal di sini selamanya," jawab Manty, mencoba mencari alasan dan bersikap sebiasa mungkin.
Jave tertawa kecil. "Sudah kuduga, kau pasti akan suka. Baiklah, ayo kita keluar dan nikmati tempat ini."
Manty sempat tersenyum sekilas sebelum mengikuti langkah Jave keluar dari balkon tempat mereka menginap. Entah sejak kapan, lelaki itu selalu berhasil membuatnya tersenyum walau suasana hatinya sedang buruk. Dan entah sejak kapan juga, Manty merasa nyaman di samping Jave dan selalu menantikan waktu yang akan mereka habiskan bersama.
Jave berjalan terlebih dulu keluar dari rumah kayu itu, tapi dia menunggu di luar dan tidak melangkah sedikit pun sebelum Manty menyusulnya. "Jalanmu cukup lama, Clam," sindir Jave, membuat Manty memutar bola matanya lalu mendengus pelan. Dan setelah itu, tawa puas dari Jave mengudara.
Mereka memilih berjalan kaki untuk menyusuri distrik kecil ini. Selain Manty sangat menyukainya, Jave pun sudah sangat paham dengan kemauan itu. Dan hasilnya, mereka sangat menikmati keadaan saat ini. Di mana tempat ini terasa tetap tenang walau banyak turis yang mengunjungi, juga udara yang tetap sejuk dan terjaga.
Di depan sana, terlihat gunung Matterhorn yang menjulang tinggi dengan salju abadi yang berkeliling di sekitar puncaknya. "Kita akan ke sana," bisik Jave pelan, membuat mata Manty melebar seketika.
"Kau serius? Kita akan ke sana? Ke puncak itu?" Manty menjejalkan pertanyaannya tanpa henti, membuat Jave tertawa kecil.
"Kini kau benar-benar banyak bicara, Clam. Dan iya, kita akan ke sana. Bukankah itu menyenangkan?"
"Sangat!" pekik Manty girang. Wajah bahagianya tidak bisa ditutupi sama sekali.
***
Saat ini mereka sudah berada di depan lift stasiun pegunungan Alpen untuk menaiki kereta gantung yang bernama Klein Matterhorn. Manty terlihat sangat bersemangat untuk segera menaiki kereta gantung itu dan tiba di puncak gunung sana. Dia yakin, di atas sana pemandangan akan semakin indah untuk dinikmati.
Tidak berapa lama menunggu, mereka sudah bisa menaiki kereta gantung yang membawa mereka melintasi pegunungan Alpen dari atas. Di sana, wajah Manty terlihat semakin cerah. Matanya berbinar-binar melihat panorama cantik di bawah sana. Di mana gunung-gunung berjajar dengan sempurna. Semua yang tidak bisa terlihat dari bawah bisa dinikmatinya di sini.
Perjalanan empat puluh menit mereka terasa begitu singkat dengan pemandangan seindah itu. Benar-benar indah melihat puncak-puncak gunung tinggi menjulang dan memenuhi daerah itu. Bahkan itu membuat Manty tidak berniat turun dari kereta gantung bila Jave tidak segera menariknya.
"Kau ingin kembali lagi tanpa menikmati puncak ini?" tanya Jave setelah berhasil menarik Manty kembali ke dunia nyata.
"Ah itu benar-benar indah. Rasanya aku ingin ada di kereta gantung itu selamanya."
Jave memutar bola matanya. "Mana mungkin. Memangnya kau tidak mau makan, mandi dan melakukan kegiatan lain?"
Manty segera menoleh dengan tatapan tidak percaya. "Dan kau menanggapinya dengan serius?"
Jave tergelak lalu mengangkat bahunya. "Entahlah. Kupikir itu mungkin saja bila kau yang mengatakannya." Melihat ekspresi Manty yang sudah berubah sedikit serius, dia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, ayo ke sana saja. Ada kafe. Sepertinya menyenangkan menikmati minuman hangat di tengah kedinginan ini."
Manty menyetujui usul Jave dan mereka berjalan menuju sebuah kafe yang berada di dekat sana. Kafe itu menjadi tempat strategis untuk menghangatkan diri, sekaligus menikmati pemandangan indah dari dalam sana. Setibanya di kafe itu, Manty langsung bergerak menuju meja dekat kaca dan menempatkan diri di sana.
Tidak lama setelah memesan, minuman mereka diantarkan oleh seorang pelayan. Manty meraih cangkirnya dan menyesap cokelat panasnya perlahan. Wajahnya dipalingkan ke kaca dan matanya jarang sekali berkedip. Dia terlihat begitu larut dengan pemandangan di depan sana, padahal dia sudah melihatnya dari kemarin.
"Kenapa kau sangat suka dengan tempat seperti ini?"
"Bukankah sudah pernah kujawab?"
Jave mundur perlahan lalu mendesah. "Baiklah. Sepertinya kau sedang menikmati duniamu dan akan kembali menjadi dingin kalau aku terus bertanya."
"Baguslah kalau kau tahu," jawab Manty sambil menahan tawanya. Dan mendapati Jave yang benar-benar menutup mulutnya setelah itu, Manty tergelak. "Ternyata kau bisa ditakut-takuti dengan ini."
Jave mendesis sambil menyipitkan matanya. "Kau ini!" Lalu dia kembali bertanya, "Apakah kau punya pengalaman dengan situasi seperti ini?"
"Tidak ada. Aku hanya menyukainya tanpa alasan. Ini memang bawaan hatiku yang merasa tenang dengan suasana seperti ini. Tidak ada pengalaman indah ataupun buruk. Mungkin memang kepribadianku saja."
"Tapi Louie bilang, kau ini orang yang ceria. Biasanya orang yang ceria tidak menyukai suasana seperti ini. Kenapa aku malah merasa karakter ceria itu tidak sesuai denganmu?"
Manty tertawa kecil. "Terkadang sisi melankolisku memang unggul."
"Kau yakin itu hanya karena kepribadian melankolismu dan bukan karena... masalah misalnya?"
"Apa hidupku selamanya dipenuhi masalah? Walau mungkin jawabannya iya, tapi tidak. Masalah bukan alasanku untuk hal ini. Selama hidup bahagia bersama Kean pun aku sangat menyukai suasana seperti ini."
"Kean..." Jave terlihat seperti sedang berpikir. "Seperti apa dirinya?"
"Kenapa kau ingin tahu?"
"Aku harus tahu lelaki seperti apa yang kau suka."
Manty menyipitkan matanya. "Kau terdengar menyeramkan." Lalu Jave tergelak. Dan setelah ikut tertawa, Manty berkata, "Dia lelaki yang sangat baik. Dia selalu mengetahui apa yang kusuka dan kubenci. Juga yang kutakuti dan kuinginkan. Dia sangat dewasa, layaknya sosok kakak yang tidak pernah kumiliki. Dia yang membuatku tahu, hidup harus tetap berjalan, sepahit apa pun itu. Dan masa lalu tidak pernah akan berpengaruh dengan masa depan."
Jave menaikkan sebelah alisnya. "Bukankah itu aku?"
Manty mendecak. "Iya, kau juga! Kau ini! Benar-benar haus pengakuan! Tapi dia yang lebih dulu mengatakannya."
"Itu hanya karena dia punya kesempatan untuk bertemu denganmu lebih dulu." Lalu dia memajukan tubuhnya hingga jarak wajah mereka hanya sejengkal. "Kalau kita bertemu lebih awal, mungkinkah kau akan mencintaiku dan bukan dirinya?"
Ucapan dan tatapan Jave membuat Manty menahan napasnya dalam-dalam, seolah kalau diembuskan sedikit saja, nyawanya akan terambil. Dan sungguh, dia tidak bisa menemukan suaranya. Juga tidak bisa bergerak sedikit pun dari posisinya saat ini, hingga wajah itu semakin mendekat dan berhenti tepat di samping telinganya. Kemudian terdengar bisikan yang sangat lembut, menembus udara dan mematikan saraf Manty.
"Akumencintaimu, Clam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of You
General Fiction"Tidak ada cara lain untuk membebaskan diri dari masa lalu selain menghadapinya." Akira Clamanty memutuskan hubungan dengan dunia luar selama dua tahun, semenjak tunangannya terbunuh di depan matanya. Dengan darah yang terus mengucur hingga kelamaan...