19

13 0 0
                                    

Louie berjalan pelan menyusuri pantai dengan pasir putih yang membentang luas ini. Dia baru keluar dari tempatnya menginap dan berharap udara pantai bisa menyegarkan pikirannya, juga menenangkan perasaannya. Karena pada kenyataannya, belum sedetik pun hatinya merasa lebih baik semenjak kepergian Steve. Dirinya mungkin terlihat baik di depan orang lain, tapi di dalam, dia seutuhnya rapuh.

Pikiran Louie melayang entah ke mana. Dia sendiri heran, bagaimana pantai yang biasanya bisa mengubah suasana hatinya jadi tidak berguna. Bahkan air biru kehijauan yang sangat indah itu pun tidak berhasil menggantikan posisi Steve untuk memenuhi pikiran juga hatinya. Dia berhenti sejenak dan menghela napas pelan.

Saat ini dia berdiri di atas sebuah jembatan kayu yang tidak terlalu lebar. Matanya menatap lurus ke depan, tapi tidak ada fokus di dalamnya. Setelah berdiam sejenak dan menarik napas beberapa kali, dia memilih untuk mendudukkan diri di sana. Cukuplah hatinya saja yang lelah saat ini, jangan tubuhnya juga.

"Kau masih mau berdiam diri ternyata." Louie menoleh cepat dan menemukan Jenn di belakangnya. "Dan kau belum berniat cerita denganku?"

"Bagaimana aku bisa bercerita kalau tidak ada apa pun yang harus kuungkapkan?"

Jenn menggeleng sambil mendecak. "Benar-benar keras kepala. Asal kau tahu, Louie. Kau itu tidak pandai berakting, jadi tidak akan ada yang percaya kalau kau baik-baik saja saat ini. Apa aku harus memanggil seseorang yang bisa memperbaiki suasana hatimu?"

Louie terlihat bingung saat menemukan senyum penuh makna yang dilontarkan Jenn. "Apa maksudmu? Kau tidak mungkin memanggil Manty ke sini, kan?"

"Tentu aku tidak akan mengganggu liburannya. Dan... bukan dia orang yang bisa memperbaiki suasana hatimu. Kau tahu siapa itu, Louie." Jenn mengerlingkan matanya lalu menyeringai dan melangkah pergi. "Kutunggu kabar baikmu nanti!"

Louie masih menatap punggung Jenn yang menjauh dengan raut bingung. Otaknya berpikir keras, berusaha menerka maksud dari ucapan gadis itu, tapi akhirnya dia menggeleng kencang dan memilih untuk tidak menghiraukannya. Setelah berpikir sejenak, dia memilih mengelilingi dan menikmati pemandangan di sudut lain. Dia segera berdiri dan mulai berjalan.

"Ah!" pekiknya saat kakinya menginjak sesuatu di bawah pasir. Louie segera mengangkat sebelah kakinya sehingga posisinya saat ini tidak seimbang. Dia hampir jatuh bila seseorang tidak menahan tubuhnya.

"Seharusnya kau lebih berhati-hati. Ke mana fokusmu, Louie?"

Suara barusan sangat pelan, tapi terdengar sangat keras di telinga Louie. Bahkan menggema berkali-kali sampai telinganya kini hanya dipenuhi suara itu. Selama sesaat Louie terbius, terhipnotis oleh suara lembut yang dirindukannya. Dia tidak bisa bergerak, tapi jantungnya melonjak dengan sangat keras.

"Kau tidak apa-apa, Louie?" Melihat Louie yang masih terdiam tanpa ekspresi, Steve kembali melanjutkan, "Kau harus tahu, aku merindukanmu. Sungguh."

Kali ini Louie tertarik kembali ke alam sadar. Dia segera menoleh dan bertanya, "Apa maksudmu, Steve?"

"Aku merindukanmu, Louie. Apa lagi yang kurang jelas dari kata-kata itu? Mungkinkah ada kesempatan bagiku untuk mengulang masa lalu dan memperbaikinya?"

Louie menatap Steve tidak percaya. Ada kesenangan tersendiri saat mendengar Steve mengucapkan kata-kata itu, tapi tidak bisa dimungkiri, hal ini terasa terlalu mustahil. "Baru seminggu dan hatimu berubah secepat itu, Steve?"

"Aku bukan berubah secepat itu, Louie. Aku hanya berusaha membuka hatiku. Berusaha mengalihkan pandangan pada orang yang seharusnya kulihat sejak dulu. Maukah kau memberiku kesempatan untuk menebus kebodohan masa lalu dan menjadi bagian di hidupmu?"

Louie membatu. Sekujur tubuhnya tidak bisa merasakan apa pun. Bahkan udara di pantai pun tidak lagi menjadi pemicu dirinya merasa kepanasan. Yang dia tahu, jantungnya sama sekali tidak normal saat ini. Udara sekelilingnya dirampas sempurna. Menyisakan kehampaan yang menyesakkan namun menyegarkan. Tiba-tiba dia teringat dengan ucapan Jenn barusan, juga perasaannya yang mengatakan ada yang memperhatikannya kemarin. Mungkinkah itu Steve?

Matanya tidak berpindah sedikit pun dari Steve. Menelusuri wajah lelaki di hadapannya yang terlihat begitu sempurna. Selalu seperti itu selama lima tahun. Bahkan setelah segala rasa sakit yang diberikannya, lelaki itu masih terlalu sempurna untuk dipuja. Tenggorokannya bergerak pelan. Menelan segala yang ada di sana untuk meraba-raba suaranya.

"Bahkan bila pada akhirnya kau gagal, aku sudah cukup bahagia karena kau mau mencoba mencintaiku. Terima kasih, Steve."

Steve tersenyum mendengar jawaban itu. Senyum yang seharusnya sejak dulu diberikannya pada Louie. Gadis yang selama ini berada di sisinya, yang seharusnya tidak dibiarkan tersakiti. Bayang keemasan mulai terlihat di belakang, menjadi latar bagaimana kedua tangan yang baru saling menggenggam itu bersatu. Pantulan gelap tidak akan pernah bisa menutupi senyum di kedua wajah yang sudah mengembang di udara dengan sempurna.

***

Danau Schwarzsee membentang di hadapan Manty dan Jave. Saat ini mereka sedang berdiri diam menghadap kumpulan air berwarna biru itu. Tidak ada satupun di antara mereka yang bersuara, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Manty masih belum menemukan suaranya semenjak Jave menyatakan perasaan. Sementara lelaki itu memilih diam, takut nanti Manty akan mengamuk atau kembali dingin kalau dia bertanya.

"Apa yang kau pikirkan tentang diriku?" tanya Manty memecah keheningan. Setelah berpikir sekian lama, dia merasa harus bertanya pada Jave untuk memperjelas semuanya.

"Maksudmu apa yang menjadi alasanku mencintaimu?" Manty mengangguk pelan. Lalu Jave melanjutkan, "Aku tidak tahu. Hanya saja, melihatmu bagai menghadapi bunga yang indah namun rapuh. Penuh luka yang harus dirawat dengan baik. Aku tidak tahu itu benar atau tidak, tapi itu yang kurasa. Dan aku ingin berada di sisimu, Clam. Menjadi orang yang mengetahui segala hal tentangmu, juga menjadi tempatmu berlari untuk menceritakan apa pun yang kau alami."

Manty tersentak. Dan setelah berhasil menemukan suaranya, dia bertanya, "Kalau kuberi kau kesempatan untuk merawat bunga itu, akankah kau melakukannya dengan baik?"

Jave menoleh cepat. Matanya berbinar-binar. "Tentu! Aku tidak akan pernah merusak bunga yang indah. Aku pandai dalam hal merawat bunga. Kau tahu itu dengan baik, Clam."

Manty bisa melihat senyum di setiap kata-kata Jave. Dan saat menoleh, dia tahu tebakannya tidak pernah salah. Lelaki itu sedang tersenyum lebar. Senyumnya mengembang sempurna hingga memenuhi matanya. Tidak hanya di wajah Jave, senyum juga mampir di wajah cantik Manty, walau hanya sesaat. Dan segera hilang saat dia melihat seseorang di belakang Jave.

"Akira?"

Suara itu membuat Jave menoleh cepat. Alisnya refleks terangkat setengah ketika matanya menemukan lelaki paruh baya berwajah tegas di depan sana. Otak Jave berpikir keras. Berbagai pertanyaan melintas ketika mendengar lelaki itu memanggil Manty dengan nama depannya.

"Maaf, Anda siapa?" tanya Jave sopan.

"Dia ayahku, May," jawab Manty singkat. Dan itu berhasil membuat Jave menoleh cepat dengan wajah bingung. Kemudian dia kembali menatap ayah Manty dan memberi senyum hangat.

"Bisa kita bicara, Akira?"

"Maaf, kami harus pulang. Waktu liburan kami sudah selesai."

Setelahmengucapkan itu, Manty segera menarik tangan Jave dan pergi dari sana. Javeyang bingung hanya bisa mengangguk sopan dan ikut menjauh.

Shadow of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang