"Ayo!" seru Louie pada Manty yang masih diam saja di depan pintu. Tahu kalau Manty tidak akan merespons, Louie langsung menarik tangan sahabatnya itu hingga mereka berdua berada di luar sekarang.
Manty menengadah ke langit lalu melihat sekitar. Saat itu juga perasaan aneh menjalarinya. Semua terasa begitu asing. Seolah ada singa yang mengaum-ngaum di sekitarnya dan siap menerjang kapan pun dia lengah. Bulu kuduknya seketika meremang saat membayangkan itu semua. Dia langsung berbalik, tapi Louie segera menghadang langkahnya setelah selesai mengunci rumah kecil yang mereka tempati.
"Tidak apa, Manty. Tidak akan ada yang menggigitmu," ujar Louie setengah bercanda, seolah bisa membaca pikiran Manty.Raut wajah Manty masih dipenuhi ketakutan. Tenggorokannya bergerak dengan susah payah untuk sekadar menelan ludah. Sungguh, bibirnya terasa begitu kering saat ini. Padahal belum sampai lima menit dia berada di luar. Sejenak, Manty merasa telah mengambil keputusan yang salah. Tidak seharusnya dia menuruti Louie dan berada di luar. Namun semua sudah terlambat. Dia tahu itu saat Louie menarik tangannya dan membawanya melangkah menjauh dari rumah yang selama ini menjadi tempatnya mendekam.
Belum jauh mereka melangkah, namun Louie sudah merasakan sesuatu yang aneh. Genggaman Manty pada tangannya mengerat. Louie mengedarkan pandangan dan segera sadar, ini tempat peristiwa mengenaskan itu terjadi. Manty menahan napasnya dalam, Louie bisa melihat itu dengan jelas.
Dan sebelum ingatan mengerikan itu kembali merasuk ke dalam otak Manty, tubuhnya sudah terlebih dahulu terhuyung ke depan. Dia menoleh sekilas dan melihat Louie tersenyum ke arahnya sambil terus berlari kencang. Tangan mereka yang saling terkait membuat Manty mau tidak mau ikut berlari bersama Louie.
"Sudah kubilang tidak akan ada yang menggigitmu. Termasuk bayangan itu sekalipun," kata Louie sambil berlalu. Manty tersenyum menanggapi ucapan Louie. Tapi secepat angin berlalu, secepat itu pula senyum Manty meninggalkan wajahnya.
Melihat kafe di sampingnya membuat paru-paru Manty kosong. Dia meraba-raba napasnya, tapi tidak berhasil menemukan apapun. Tidak. Tidak sedikit pun, sampai suatu bayangan melintasi otaknya. Menghempas tubuhnya hingga terbaring tak berdaya di kilasan masa lalu. Masa di mana Kean masih di sisinya. Saat di mana lelaki itu melamarnya, di kafe itu.
"Kau sedang berusaha menggodaku, bukan?" tanya Manty sambil tertawa kecil.
"Tidak. Sungguh. Aku hanya berkata aku menyukai ekpresimu saat melihat bunga matahari, dan itu kenyataan. Kau terlihat begitu ceria, seperti anak kecil mendapatkan mainan baru," sahut Kean. Matanya memancarkan kesungguhan.
Senyum Manty kembali merekah saat menatap bunga matahari yang baru saja diberikan Kean. Lelaki itu memang selalu tahu bagaimana cara menyenangkan hati Manty. Dia tahu segala hal yang disuka dan dibenci Manty. Sedetail itu. Bahkan sampai hal yang Manty sendiri ragu dan tidak menyadarinya.
"Sudahlah. Lebih baik aku memakan es krimku," ujar Manty, pura-pura tidak peduli dengan ucapan Kean.
"Tentu, itu memang kesukaanmu." Kean menunjuk semangkuk es krim vanilla besar dengan remahan biskuit cokelat di atasnya.Manty mulai menyendok es krimnya. Dan setelah sendokan pertama, dia terus melakukannya tanpa henti. Terlalu berkonsentrasi hingga dia tidak melihat sedikit pun ke arah Kean yang tengah memperhatikannya lekat-lekat. Senyum menghiasi wajah Kean selama melihat gadis di depannya melahap olahan halus yang bisa membuat giginya ngilu itu dengan penuh semangat.
"Kau belum memakannya sedikit pun?" tanya Manty dengan suara agak tinggi. Bagaimana tidak, bila yang dilihatnya adalah piring di depan Kean yang masih berisi panekuk utuh. Belum disentuh sama sekali.
Kean hanya tertawa, lalu mulai memotong panekuk cokelatnya. Berbeda dengan Manty, dia tidak pernah memesan es krim dan selalu memilih kue ini untuk santapan ringan. Selain memang menyukai kue ini, es krim terlihat terlalu kekanakan baginya. Tapi bila Manty yang melakukannya, segala hal kekanakan itu menjadi wajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of You
General Fiction"Tidak ada cara lain untuk membebaskan diri dari masa lalu selain menghadapinya." Akira Clamanty memutuskan hubungan dengan dunia luar selama dua tahun, semenjak tunangannya terbunuh di depan matanya. Dengan darah yang terus mengucur hingga kelamaan...