Jave dan Manty baru tiba di kebun bunga milik keluarga Jave. Usaha ini memang sudah lama dijalankan oleh ayah Jave, dan kini semakin berkembang saat dirinya yang meneruskan. Tidak heran, bila melihat kecintaan Jave pada bunga dan segala teknik penanamannya.
Sepanjang jalan Jave berharap ada perubahan, tapi hasilnya nihil. Manty tetap seperti kemarin. Tidak berbicara sedikit pun hingga akhirnya tiba di sini, walau Jave sudah menghujaninya dengan begitu banyak pertanyaan. Terkadang Jave bingung, kenapa ada gadis yang begitu diam seperti Manty.
"Kau mau lihat yang mana dulu?" tanya Jave saat mereka berada di depan lorong-lorong yang akan membawa mereka ke kebun bunga yang berbeda-beda. Manty menunjuk lorong yang ada di sebelah kiri, dan itu membuat Jave mendesah lemah. "Haruskah kau menunjuk? Tidak maukah kau berbicara sedikit pun?"
Mendengar pertanyaan itu, Manty malah langsung melenggang pergi. Mendahului Jave dan meninggalkannya bersama segala umpatan. Begitu keluar dari lorong, Manty langsung dihadapkan pada kebun bunga yang luas. Di hadapannya kini terpampang ribuan tangkai bunga mawar kuning.
"Mawar kuning lambang kehangatan dan kasih sayang yang tulus dari dalam hati. Kau bisa membuat rangkaian bunga ini untuk simbol persahabatan, atau perayaan terhadap suatu pencapaian prestasi," ucap Jave sambil menyusul Manty dan akhirnya berdiri di sampingnya. Manty hanya mengangguk pelan.
"Berikan pada kami bunga yang paling tinggi, batangnya tidak ada kerak berwarna merah, dan yang daunnya hijau tua dan segar. Jangan yang ada bercak sedikit pun di daunnya dan jangan sampai yang ada lapisan putih," ujar Manty tanpa menoleh sedikit pun.
Jave terpana mendengar ucapan Manty. Baru kali ini Manty bicara begitu banyak di depannya dan padanya. Tanpa bisa diduga senyum Jave mengembang lebar. "Itu semua memang ciri bunga yang sehat. Sepertinya kau punya cukup banyak pengalaman mengenai bunga."
Belum sempat Jave menoleh ke arah Manty setelah selesai bicara, gadis itu sudah terlebih dahulu melangkah pergi dari sana. Jave hanya bisa memutar kepalanya dan mengiringi langkah gadis itu dengan desahan lemah. Benar-benar gadis yang terlalu sulit ditaklukkan. Sepertinya dia hanya bicara karena urusan pekerjaan.
Selanjutnya Manty berjalan menuju lorong-lorong lainnya dan kembali dihadapkan dengan berbagai jenis bunga. Setiap kali memasuki taman, hatinya seolah ikut bermekaran seperti bunga-bunga yang berada di sana. Dan setiap kali bulir-bulir aroma dari bunga-bunga itu bertebaran di udara, dia menutup matanya dan mengembangkan dada. Menghirup suatu kehangatan yang sudah lama tidak ditemukannya. Terus dan terus, hingga suatu bayangan yang mengerikan kembali menyeruak ke dalam pikirannya.
"Kau kenapa?" tanya Jave saat menyadari ada gelengan yang sangat kencang dari arah kanannya. Manty tidak kunjung menjawab. Kepalanya hanya tertunduk dan matanya tertuju pada suatu titik tanpa fokus. Sedangkan napasnya masih tersengal-sengal.
Manty masih bergeming selama beberapa saat. Dan setelah merasa bisa mengatur kembali napasnya dengan baik, aliran ludah pun sudah bisa memasuki kerongkongannya, maka dia berjalan pergi. Kembali meninggalkan Jave. Dan memang itu yang harus dilakukannya. Sebelum lelaki itu menambah bayangan mengerikan yang segera menyusul untuk menguasai benaknya.
"Kau mau ke mana?" Jave segera menahan tangan Manty.
"Pulang."
"Kita belum selesai," debat Jave lagi. Namun Manty kembali diam. Entah kenapa kali ini Jave merasakan sesuatu yang berbeda dari saat dia berdebat dengan Manty di depan restoran kemarin. Saat ini, energi yang dialirkan Manty begitu lemah. Bukan sikap yang dingin ataupun keras kepala seperti waktu itu.
Jave mencoba menjelajah dalam otaknya sendiri. Mencari segala kemungkinan yang bisa ditemukannya sebagai jawaban. Tapi, nihil. Dia ingin kembali berbicara, mendebat. Tapi dalam hati kecilnya dia takut, kalau-kalau Manty akan kembali meninggalkannya dan pergi sendirian seperti kemarin. Akhirnya dia mengalah. Dia menarik tangan Manty, membawa gadis itu keluar dan segera pulang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of You
Fiction générale"Tidak ada cara lain untuk membebaskan diri dari masa lalu selain menghadapinya." Akira Clamanty memutuskan hubungan dengan dunia luar selama dua tahun, semenjak tunangannya terbunuh di depan matanya. Dengan darah yang terus mengucur hingga kelamaan...