20

12 1 0
                                    

Manty melangkahkan kaki perlahan menyusuri jalan yang biasa dilaluinya menuju Viccla Florist. Dia sangat menikmati waktunya ini, walau tidak ada yang istimewa dan semua sudah biasa dilewatinya. Namun, udara ini terasa terlalu segar untuk dibiarkan berlalu dengan cepat.

Tiba-tiba, Manty merasa pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang. Dan saat menoleh, dia menemukan Jave dengan senyum lebarnya. Alisnya terangkat setengah. Raut wajahnya menunjukkan pertanyaan yang melintas di otaknya dengan jelas. Sehingga Jave bisa langsung menjawab tanpa perlu ditanya dulu oleh Manty.

"Aku berada di sini untuk pergi ke tempat kerja bersama kekasihku. Bukankah itu romantis?" ujar Jave sambil tersenyum jahil dan mengerlingkan matanya.

Manty melirik sekilas lalu mendesah malas. "Kau sungguh berlebihan."

"Apanya yang berlebihan? Aku hanya sangat senang bisa berjalan dan menemani kekasihku yang cantik ke toko bunganya." Manty masih memberikan ekspresi malasnya. Dan itu membuat Jave tersenyum puas. Lalu dia kembali berkata, "Aku tidak sabar untuk menyebarkan berita bahagia ini!"

Kali ini Manty menoleh dengan sangat cepat. "Apa mulutmu itu tidak bisa dibiarkan diam? Haruskah kau menyebarkan itu secara langsung?"

Jave tergelak melihat ekspresi Manty. Matanya membelalak dan raut wajahnya terlihat penuh ketidak percayaan. "Tidak mungkin bagiku untuk menyembunyikan kabar baik. Tapi kalau kau bisa mengejarku, aku akan mempertimbangkannya."

Setelah mengucapkan itu Jave segera menghentakkan kakinya dan berlari kencang, meninggalkan Manty yang masih membatu. Tidak mengerti dengan situasi saat ini. Tapi setelah beberapa saat, akhirnya dia ikut melangkahkan kakinya dan mengejar Jave yang sudah sangat jauh di depan sana.

"Kau payah!" seru Jave sambil menoleh ke arah Manty.

Manty masih berusaha mengatur napasnya dan baru mengangkat kepalanya hendak mendebat. Tapi di depan sana, dia mendapat pemandangan yang cukup mengejutkan. Seseorang yang tidak diduganya berdiri di sana.

"Manty... aku... masalah waktu itu..."

Manty mengangkat kepalanya sempurna dan tersenyum lebar. Lalu dia menyodorkan tangannya dengan wajah ceria. "Halo, aku Akira Clamanty. Kau bisa memanggilku Manty. Kau pasti seseorang yang sangat berharga bagi Louie dan akan menjaganya dengan baik, kan?"

Louie yang berdiri di sebelah Steve tersenyum saat mendengar ucapan Manty dan melihat lirikannya yang sarat makna. Dan dia bisa melihat ekspresi Steve yang terlihat begitu kaget, sama seperti Jave. Dia maju sedikit lalu menyenggol siku Steve pelan, memberi isyarat bagi lelaki itu untuk memberi tanggapan.

Dengan kaku, Steve menyambut uluran tangan Manty. "Pasti. Senang berkenalan lagi denganmu," sahut Steve sambil menekankan kata lagi dan tersenyum lebar. Setelah itu tawa mereka menggema di udara secara bersamaan.

***

"Sepertinya liburanmu menyenangkan, Louie."

Manty menghampiri Louie yang sedang menyusun rangkaian bunga dengan dua gelas cokelat panas yang baru diseduhnya. Dia segera menyodorkan satu gelas pada Louie setelah mendudukkan diri di sebelahnya. Wajahnya terlihat berseri-seri. Menampilkan senyum penuh arti yang menggoda Louie.

Louie melemparkan senyum serupa dan berkata, "Kurasa kau juga begitu, Manty. Kau tahu kekasih barumu itu sudah menyebarkan berita hubungan kalian pada semua orang yang ada di sini."

Manty yang baru meminum seteguk cokelat panasnya langsung tersedak. Dia batuk berkali-kali karena mendengar ucapan Louie. "Dia benar-benar melakukan itu?"

Louie tergelak. "Kurasa kau tidak seharusnya malu, Manty. Kekasih barumu itu baik juga sangat tampan. Justru seharusnya kau merasa beruntung, bukan malu."

Manty memutar bola matanya. "Aku bukan malu. Hanya saja itu bukan hal yang harus disebarkan. Kurasa kalian juga bisa menebak sendiri tanpa harus diumumkan olehnya."

Louie mengangguk-angguk. "Benar juga. Tapi kurasa dia hanya terlalu bahagia."

"Kalau itu, aku tahu betul," sahut Manty sambil mengulum senyum.

"Kau beruntung."

"Kau juga."

Dan setelah itu, terdengar suara pintu dibuka. Manty dan Louie menoleh serempak. Sapaan yang sudah hendak dilontarkan Manty tertahan di tenggorokannya begitu melihat siapa yang muncul dari balik pintu itu. Raut wajahnya langsung berubah. Senyum yang sejak tadi bertengger di wajahnya menguap seketika.

"Ada yang bisa kami bantu, Mister?" tanya Louie ramah.

Berbeda dengan Louie yang bertanya, Manty langsung melangkah mendekati orang itu. Namun sebelum dia melangkah jauh, Louie menahan tangannya dan berbisik menanyakan siapa lelaki paruh baya itu. Manty tidak menjawab, dia hanya tersenyum singkat lalu menurunkan tangan Louie.

"Di luar saja," bisik Manty saat melintas di samping lelaki itu.

***

Manty berdiri berhadapan dengan ayahnya di sebuah taman yang cukup jauh dari Viccla Florist. Dia sengaja memilih tempat yang cukup jauh supaya orang lain, termasuk Louie, tidak mendengar perbincangannya. Sejak tadi belum ada satu orang pun yang memulai pembicaraan. Keduanya hanya berdiri diam dan saling menatap.

"Kau tidak mau memanggilku?" tanya ayahnya, yang disambut dengan tatapan dingin Manty.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Manty datar.

Ayahnya kembali terdiam. Menghadapi Manty seperti ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Setelah enam tahun tidak bertemu, dan sekarang harus berhadapan dalam situasi seperti ini, rasanya benar-benar canggung. Sesaat, rasa bersalah menggerogotinya lalu menelan suaranya, dan kini menenggelamkannya secara sempurna.

Mendapati ayahnya yang tidak mengucapkan sepatah kata pun, Manty mulai melangkahkan kakinya, berniat meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak ada alasan baginya untuk tetap berada di sana dan menghadapi lelaki itu.

"Jangan pergi..." Suara ayahnya terdengar begitu jauh dan lirih. "Kalau kau pergi seperti itu, rasa bersalahku tak akan tertolong lagi."

Manty menghentikan langkahnya lalu bersedekap. Dan tanpa menoleh, dia berkata, "Sungguh tidak disangka bisa mendengar kata rasa bersalah dari mulutmu, Mister Clamant."

Allegio Clamant menutup matanya rapat-rapat saat mendengar panggilan yang dilontarkan anaknya tadi. Rasa sakit menusuknya amat dalam. Mengingat apa yang telah dilakukannya dan bagaimana sikap terakhir yang diberikannya pada Manty membuat dadanya sesak, dipenuhi rasa bersalah.

"Maaf, Akira. Maafkan Ayahmu ini."

Manty tertawa pelan. Bahkan dalam tawanya kali ini, terdengar jeritan yang menusuk hati. Penuh luka. "Kau masih berani menyebut dirimu ayah? Setelah sikapmu enam tahun lalu? Dan baru sekarang kau meminta maaf? Kau pasti merasa dirimu adalah penguasa dunia, yang bisa memerintah orang seenaknya. Yang melakukan kesalahan tanpa perlu mengaku dan baru akan meminta maaf kapan pun kau mau. Atau mungkin seharusnya kau tidak perlu minta maaf, bila ingin mengukuhkan posisimu sebagai penguasa dunia, Mister."

Allegio menahan napasnya dalam-dalam. "Aku tulus meminta maaf padamu, Akira. Kenapa sikapmu seperti ini?"

Lagi, Manty tertawa pelan. "Kalau kau sungguh minta maaf, seharusnya kau tidak di sini. Dan aku tidak menemukanmu dengan wanita itu kemarin. Bukankah kata-katamu tidak bisa dipercaya, bila dilihat dari fakta itu? Mungkin keahlianmu untuk berbohong sudah menurun, Mister."

"Akira!" Kali ini Allegio tidak bisa lagi menahan dirinya. Dia memang merasa bersalah, tapi sikap Manty sudah cukup keterlaluan saat ini.

Mendengarbentakan itu, tawa Manty justru semakin lebar. Lalu dalam hitungan detik, diamengubah raut wajahnya. Tawa itu memudar, berganti ekspresi dingin yangmematikan. Juga tatapan tajam yang sanggup menusuk siapa pun. Tidak ada lagisenyum. Tidak ada lagi keramahan. Semuanya hilang bersama dusta yang diberikanseseorang di hadapannya. Dan tanpa berkata-kata lagi, Manty melangkahkankakinya pergi. Mantap, tanpa menoleh.

Shadow of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang