3

70 6 0
                                    

"Kau bisa ikut mengantar bunga itu pada ibuku, Clam?"

APA! Apa lelaki itu sudah gila? Mata Manty melebar seketika. Nada bicara Jave yang santai membuatnya semakin tidak mengerti. Lelaki itu pasti benar-benar punya gangguan kejiwaan. Dia yakin akan hal itu.

Kenapa pula dia harus mengantarkan buket pada pembeli yang datang langsung ke tokonya, di mana layanan antar biasanya hanya berlaku bagi orang yang memesan lewat telepon.

Alih-alih menjawab, Manty malah kembali berbalik. Menghadapkan tubuhnya ke arah lain, seolah menutup dirinya rapat-rapat. "Clam?" panggil Jave lagi. Dan lelaki itu mengulang panggilannya berkali-kali hingga akhirnya Manty menoleh dengan malas.

"Apa kau tidak punya pekerjaan lain selain mengganggu di sini?" sindir Manty sinis.

Ucapan Manty yang sangat sinis itu tepat mengenai jantung Jave. Menghujamnya dengan sangat keras hingga lelaki itu tidak bisa berkata apa-apa. Dan pada akhirnya, dia hanya bisa menatap Manty dengan penuh pertanyaan. Kenapa gadis yang terlihat begitu manis dan lembut bisa mengatakan hal mengerikan seperti itu?

"Kebetulan aku memang sedang lowong, Clam," jawab Jave seolah tidak mau kalah dengan sikap dingin Manty. "Ibuku ingin bertemu dengan orang yang membuat buket ini. Dan sepertinya tidak ada yang salah bila orang yang menjual bunga mengantarkannya sendiri kepada pelanggan, bukan?"

Manty membalikkan badan seutuhnya, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap tajam ke arah Jave yang sedang berbicara sambil menggoyangkan buket di tangannya.

Lama mereka beradu tatap, dan tidak ada satupun yang mengalah. Mereka berdua seperti benar-benar sedang terlibat perang dingin. Hingga suara mesin pendingin ruangan yang mengembuskan udara pelan pun terdengar sangat kencang.

"Kurasa itu bukan ide yang bagus, Jave." Louie mencoba memecah keheningan yang mengerikan itu dengan membujuk Jave untuk mengurungkan niatnya.

"Baiklah," jawab Manty tiba-tiba.

Sungguh di luar dugaan. Hal itu sontak membuat Louie memutar kepalanya sembilan puluh derajat ke arah Manty. Aneh. Waktu dua tahun memang bisa mengubah segalanya. Kini dia tidak bisa dengan mudah menebak Manty lagi.

Senyum kemenangan terlihat jelas di wajah Jave saat mendengar jawaban Manty barusan. Walau dia tidak mengerti kenapa keputusan gadis itu bisa berubah seketika, tapi tak bisa dimungkiri ada rasa senang yang merambat di hatinya. Entah apa alasannya. Merasa menang karena bisa menaklukkan gadis dingin atau...

Jave segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikirannya yang mulai meracau.
Manty melangkahkan kakinya hingga berada tepat di depan Jave. Dia berhenti sejenak di sana dan menatap dalam ke mata Jave dengan pandangan yang tidak bisa dimengerti oleh lelaki itu.

Setelah beberapa saat berdiam, Manty segera membelok dan keluar dari toko bunga itu tanpa berkata-kata. Jave dan Louie saling menatap. Masing-masing dengan kebingungan di otaknya, tapi tidak berpendapat apa-apa. Akhirnya Jave menyusul Manty setelah mengucapkan sampai jumpa pada Louie.

"Ah...lelaki tampan baru saja berlalu. Kenapa bukan aku saja yang diajaknya pergi?" gerutu Jenn sambil berlalu. Louie menoleh cepat. Benar, ada orang lain di sini, Jenn. Percakapan mereka sejak tadi membuatnya lupa akan keberadaan gadis menyebalkan itu. Louie memutar bola matanya malas. Benar-benar gadis yang aneh dan menyebalkan, rutuknya dalam hati.

***

Jave mengetuk-ngetukkan tangannya ke setir mobil berkali-kali. Dia benci suasana seperti ini. Dia benci keheningan. Sejak masuk ke dalam mobilnya, Manty belum mengucap-kan sepatah kata pun. Gadis itu hanya terus memalingkan wajahnya ke arah kaca dan menatap -entah apa di luar sana- tanpa berpaling semenit pun.

Shadow of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang