8. No Sense

26.3K 3K 332
                                    

"Karena Nyonya Ivoni telah bangun dari koma. Makanya Tuan Ace sibuk mengurus segala sesuatu yang Nyonya Ivoni butuhkan selama di rumah sakit. Tidak ada lagi waktu yang ia sisakan untuk pelacur kecil dan murahan sepertimu!" Sebelum pergi, Monica menyempatkan dirinya untuk menendang kaki Zee.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Monica, membuat pertahan Zee semakin tidak tertahankan. Zee semakin menangis. Jika andaikan bisa, Zee ingin sekali meraung meratapi nasibnya yang kini hanya bagai seonggok kotoran tidak berguna. Zee berusaha keras meredam tangisannya, tapi ia tetap tidak bisa. Sebagian dari dirinya menolak untuk tenang.

Zee terus menangis, sendirian. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Ia merasakan dingin yang mencekam sekarang. Ketakutannya sekarang sudah menyeruak keluar. Zee pikir ia telah siap menghadapi semua ini. Siapa sangka, ia bahkan belum siap sama sekali. Zee tahu ia tidak bisa lagi berada di rumah ini. Ia sudah memikirkan rencana yang sebenarnya akan sangat menyakitinya dan anak-anak. Tapi apa boleh buat, Zee harus pergi dari rumah ini, secepatnya.

Zee telah mati, ia tenggelam. Tidak bisa bernapas. Perasaannya sakit, berdarah dan terus mengalir. Kepalanya seakan-akan ingin pecah. Zee mati. Bukan, jiwanya yang mati. Meskipun tidak akan tersampaikan, perasaannya untuk Ace tidak akan pernah mati. Hanya saja, ia merasakan jiwanya yang telah mati dan perasaannya yang meluap-luap. Zee tidak tahu bagaimana cara menyampaikan perasaannya.

Yang Zee tahu hanya ia harus pergi dari rumah ini secepat yang ia bisa sebelum ia benar-benar mati secara fisik.

.
.
.
》》》
.
.
.

Sebuah sore yang sangat tenang dan nyaman untuk Zee habiskan bersama dengan Jeff dan Ash. Zee sudah menyiapkan beberapa muffin hangat untuk menemani piknik rutin di sore hari mereka. Seperti biasa, Zee telah menyiapkan teh hangat untuk mereka. Teh beraroma bunga peony itu sangatlah nikmat dan menyegarkan. Dengan mengonsumsi teh aroma peony itu, Zee berharap bahwa kehidupan Jeff dan Ash akan terus dipenuhi oleh kebahagiaan dan cinta kasih. Tidak hanya dari Zee, tapi dari Daddy bahkan Mommy mereka.

"Papa? Papa baik-baik saja?" tanya Ash ke arah Zee yang saat ini sedang memijat pelipisnya pelan. Beberapa hari ini memang perasaan Zee serasa sangat tidak enak dan tidak nyaman. Tidak hanya perasaan, tapi perutnya bagai terasa diaduk-aduk. Jika ia ingin makan sesuatu yang baunya agak sedikit menyengat, pasti hal itu akan membuat Zee merasa mual dan ujung-ujungnya tidak jadi makan. Entah penyakit apa yang Zee rasakan saat ini.

"Tidak apa-apa. Papa baik-baik saja kok," jawab Zee seadanya. Ia tidak mau membuat anak-anaknya khawatir mengenai keadaannya. Kemungkinan Zee hanya mengalami masuk angin biasa. Atau mungkin hal yang lebih buruk dari itu? Who knows.

"Papa yakin? Tapi muka papa pucat sekali saat ini," tambah Jeff sambil meletakkan cangkirnya kembali ke tempatnya. Jeff mendekatkan dirinya kepada Zee yang saat ini merasakan pusing. Zee berharap ia bisa bertahan, tapi kepalanya semakin sakit. Pandangannya mulai mengabur.

"Papa! Papa kenapa?" Ash ikut khawatir melihat Zee yang mencengkram kepalanya. Ini tidak baik, pandangan Zee semakin mengabur. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas karpet piknik mereka. Zee bisa melihat wajah anak-anaknya sebelum semuanya menggelap. Zee pingsan.

.
.
.
》》》
.
.
.

Perlahan, Zee membuka matanya, membiasakan matanya dengan cahaya yang menusuk-nusuk retinanya. Zee sangat hapal dimana ia saat ini, di kamarnya. Kepalanya masih sedikit pusing, tapi tidak separah tadi. Saat ini ia sudah merasa jauh lebih baik.

Zee bisa mendengar suara berisik Jeff dan Ash yang entah membicarakan apa di ujung sana. Mereka berdua sedang duduk di atas kursi yang ada di kamar Zee. Wajah mereka terlihat sangat serius. Zee berpikir apa yang mereka bicarakan sehingga membuat wajah seserius itu?

Devil's ClawTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang