Extra [2]

20K 2K 133
                                    

"Jeni. Hei, dengar. Dengarkan aku dulu. Ini tidak seperti yang kau lihat. Hei!" Jeff mengejar Jeni yang berusaha masuk ke dalam mobilnya. Bisa Beau lihat jika Jeni terlihat sangat marah dengan Jeff yang berusaha menenangkannya. Beau iri. Dirinya sangat iri. Beau ingin berada di posisi Jeni. Dicintai oleh orang yang kita cintai. Beau mengira-ngira semenakjubkan apa rasanya.

Jeff mulai memeluk Jeni yang menangis. Ia tidak suka melihat orang yang dicintainya menjadi sedih seperti ini. Jeni adalah satu-satunya gadis yang dicintainya. Mata Jeff tidak lagi fokus pada Jeni. Ia punya tanggung jawab lain yang ditinggalkannya begitu saja tadi. Di sanalah dia, berdiri sendirian, memegang baju pada bagian dadanya. Mata itu, Jeff tidak akan pernah lupa mengenai tatapan mata itu. Tatapan mata yang sama ketika Jeff bangun di suatu pagi dan pria itu menatapnya dari kejauhan.

Merasa diperhatikan, Beau menjadi tidak nyaman. Bukan ini yang ia inginkan. Beau tidak ingin Jeff melihatnya dengan tatapan kasihan seperti itu. Mungkin sebaiknya Beau pergi saja dari sini. Kali ini dirinya yakin, Jeff tidak akan mungkin mengejarnya.

Dan Jeff memang tidak lagi mengejar.

Mata Jeff tidak berhenti menatap sosok Beau yang hilang ditelan ujung jalan. Sementara Jeni masih sesenggukan di pelukannya. Meski Jeff sudah berjanji, ia masih belum mengerti bagaimana mengatur perhatiannya. Meski sudah mengatakan akan bertanggung jawab, Jeff masih belum mampu menunjukkan hal itu. Meski hati nurani Jeff berteriak untuk menolong Beau terlebih dahulu, karena biar bagaimanapun, dirinya lah yang menarik pria itu ke permasalahan ini. Tetap saja, Jeff masih belum mampu. Bajingan seperti dirinya akan tetap menjadi bajingan. Jeff kasihan pada dirinya sendiri.

.

.

.

》》》

.

.

.

Sastra Bandingan merupakan mata kuliah terakhirnya di hari ini. Beau sudah mulai bergegas merapikan segala perlengkapan belajarnya. Ia harus segera bergegas sebelum bosnya memarahinya lagi. Beau adalah orang yang ceroboh, tidak heran jika ia tidak bisa bertahan di satu pekerjaan yang tetap. Sebelum kontrak kerjanya habis, ia pasti akan dipecat duluan. Beau tidak bisa seceroboh itu lagi. Akan ia kasih makan apa nanti anaknya jika hal ini tetap terjadi?

Tanpa Beau sadari, semenjak keluar dari kelasnya ia diikuti oleh seseorang. Tidak ada yang curiga kepada orang itu karena ia mampu berbaur dengan sangat baik dengan mahasiswa-mahasiswa pemuja buku ini. Bisa kau temui hampir semua orang di koridor ini memegang buku yang entah berasal dari mana dan abad ke berapa dengan penulis dari periode apa saja. Beau baru saja melewati seseorang yang memegang buku karya William Shakespeare, Jane Austin kemudian, lalu Agatha Christie, dan selanjutnya ada Oscar Wilde, oh! Jangan lupakan ada buku karya Edgar Allan Poe di ujung sana.

Beau tetap saja berjalan dengan hati-hati, kandungannya masih sangat muda. Jika ia ceroboh, persentase dirinya keguguran akan semakin tinggi. Beau tidak ingin hal itu terjadi. Dari kejauhan ia bisa melihat tempatnya bekerja paruh waktu. Hanya sebuah cafe biasa dengan dirinya yang diterima sebagai pelayan. Belum juga Beau menginjakkan kakinya di tempatnya bekerja, tangannya sudah ditarik oleh seseorang. Mulutnya pun dibungkam dengan sebuah kain. Beau mulai ketakutan, tidak, ia tidak boleh ketakutan. Sekuat tenaga Beau melindungi perutnya, meski kaki dan badannya terus memberontak.

Beau melihatnya, sosok itu dari awal memang sangat mengerikan. Ia benar-benar tidak paham mengapa pria sekejam dirinya bisa mendapat sosok semulia Zee. Dengan coat-nya yang terlihat sangat mahal, Ace berdiri menatap Beau dengan tatapan yang menusuk.

Pria yang mengikuti Beau sedari tadi melepaskan pegangannya pada tubuh Beau. Sementara si korban yang telah terlepas dari cengkraman orang sebelumnya benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Ia hanya berdiri mematung dan menatap Ace dengan matanya. Sementara yang ditatap oleh Beau juga menatap pria itu balik.

Devil's ClawTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang