18. All in It

25.4K 2.4K 204
                                    

“Ash di sekolah berperilaku sangat baik, sejauh ini dia belum menciptakan masalah-masalah yang bisa merusak nama baik sekolah,” ujar Remi kepada Ace yang menanyainya tentang keadaan salah satu anaknya yakni Ash. Siapapun Ace, Remi takut. Pria itu sungguh mengintimidasi siapapun yang ada di sekitarnya. Remi heran bagaimana bisa pria semanis dan selembut Zee bisa tahan dengan pria searogan Ace?

Tidak diragukan lagi, Ace memang sangat tampan. Mungkin semua wanita bisa bertekuk lutut di bawah kakinya jika dia yang memerintahkan hal itu. Jangankan wanita, pria flamboyan pun mungkin bisa direnggutnya semua. Tidak boleh ketinggalan, fakta jika Ace kaya raya menjadi poin paling utama. Sekali kedip, mungkin semua bisa bertekuk di hadapan Ace. Siapapun Ace, sekali lagi, Remi takut. Remi tidak akan pernah berhenti mengatakan jika dia takut akan Ace.

“Jaga baik-baik putriku di sekolah, jika kau tidak ingin aku menghancurkan kepalamu.” Bisa dirasakannya, Remi tidak pernah mendapatkan jawaban yang baik dari Ace. Mereka baru saja bertemu. Tapi Ace sudah lebih dulu dendam padanya. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin saja Ace tidak terima jika putinya diajar oleh dirinya? Mungkin juga Ace tidak suka karena sekarang Zee duduk di sampingnya sedang dia duduk di single sofa milik Zee? Atau mungkin kedua-duanya? Jadi ia mengangguk saja mendengar perintah Ace. Takut kalau kepalanya hilang jika ia membalas dan jawabannya kurang tepat menurut Ace.

“Ace,” tegur Zee pelan. “Astaga, aku lupa. Sungguh tidak sopan. Aku akan mengambilkan minum dan cemilan. Jadi tunggulah sebentar. Kalian ngobrol saja dulu.” Zee masuk ke dapur dan mulai menyeduh teh yang Ace pernah belikan untuknya, ditambah dengan beberapa kue yang ia buat sebelumnya.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Remi tidak ingin Zee pergi. Untuk pertama kalinya ia sanggup menolak di dalam hati makanan dan minuman yang akan Zee suguhkan untuk mereka. Remi masih sangat menyayangi nyawanya. Sudah semenit Zee masuk ke dalam dapurnya. Meski tidak melihat, tapi Remi sangat yakin jika pandangan Ace itu jatuh tepat ke dirinya. Bukan cinta yang ia rasakan, tapi hujaman jarum tak kasat mata yang mampu menembus kulitnya. Rasanya sangat mengerikan.

“Kau bilang namamu Qais, Remi Qais benar?” tanya Ace kepada Remi yang masih menundukkan dalam kepalanya. Percayalah, Ace hanya penasaran dengan seorang pria yang ada di hadapannya ini. Dia terlihat masih cukup muda dan well, punya tampang. Dilihat dari sisi manapun, garis timur wajah pria ini membuat dia semakin menawan. Ace agak sangsi, ia takut jika Zee bisa saja jatuh hati kepada pemuda aneh di depannya ini.

Remi hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan Ace, untuk kesekian kalinya. Entah apa yang dimiliki pria itu sehingga membuatnya hampir kejang-kejang seperti ini. Remi berharap Zee cepat kembali.

Well Remi Qais, apa hubunganmu dengan Zee kekasihku?” tanya Ace yang membuat Remi berpikir betapa to the point-nya pria ini.

“Teman?”

“Kenapa bertanya? Kau ragu kalian berteman?”

“Bukan seperti itu.”

“Jadi bagaimana?”

“Kami benar-benar hanya berteman.”

“Kau pernah ke sini malam-malam?”

“APA?”

“Jangan pernah menyuruhku mengulangi pertanyaanku, bodoh.”

“Maafkan aku.”

“Jadi bagaimana?”

“Bagaimana apanya?”

“Kau mau mati?”

“AH! Aku ingat, maafkan aku.”

“Kau terlalu bodoh untuk Zee.”

Sorry?”

“Apa? Kau tidak terima? Aku bilang kau terlalu bodoh untuk Zee.”

Devil's ClawTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang