Aku tak memperdulikan di sekitar ku saat ini. Langkah ku seolah dengan sendirinya berjalan lebih mendekat kearah tempat tidurnya. Ia berposisi terbaring kesebelah kiri, aku mendengar ringisan nya saat itu. Perasaanku menatap nya begitu sedih dan bercampur rasa penyesalan. Seketika saja ku ambil tangan nya itu dan ku genggam erat. Aku duduk sambil menunduk mencoba menatap wajahnya lebih dekat
"Ve, ini aku. Kamu harus bertahan" lirihku
Matanya yang tadinya terus terpejam itu kini terbuka secara perlahan. Bola matanya kini menatap kearahku, tanpa kusadari ia sudah menjatuhkan air matanya di hadapanku. Tangan nya yang tadi aku genggam kini berbalik dengan sangat erat dia menggenggam tangan ku
"Aku tepati janji ku untuk kamu"
Hanya tetesan air mata yang bisa ia berikan padaku. Kini aku lihat ia begitu tenang, napas nya menjadi lebih mudah di atur. Mungkin rasa sakit itu hilang. Namun saat itu juga jeje langsung merampas tangan ku untuk menjauh dari tangan ve. Mendadak aku kaget dan menatap jeje tak percaya
"Ikut gue!" Perintah nya seketika langsung menarik lenganku cepat
Hingga akhirnya aku dan jeje berada di depan ruang perawatan. Sungguh jeje benar-benar telah membenciku. Tatapan kebencian nya terus saja mengarah ke arahku. Aku hanya bisa tertunduk merasa menyesal.
"Untuk apa lo kesini? Lo malah bikin dia merasa sakit!" Ucap jeje terdengar kasar
"Gue harus temenin dia, gue udah janji sama dia"
Plakk!!
Satu tamparan keras melayang ke pipi kanan ku saat aku berusaha jujur kenapa aku berada disini. Semakin kasar ia menatap ku, saat ini aku hanya bisa tertunduk. Tak bisa berkutik sedikitpun sambil mengelus pipi sebelah kanan.
"Apa lo bilang? Janji? Janji lo udah ngak bisa di bilang janji lagi!" Bentak nya
"Je, tolong. Ini demi ve, di-di-dia akan melahirkan anak kami"
"Tutup mulut lo buat ngakuin itu anak lo, karena lo ngak pantas!"
"Sekarang lo pergi dari sini, jangan pernah temui ve lagi!" Lanjutnya semakin memperingatkan ku
Kemudian jeje masuk kedalam ruang perawatan sambil aku terus meminta untuk masuk. Namun tak ada yang bisa meluluhkan hatinya dan kuat tak ingin mengizinkan ku untuk masuk. Hanya menatap pintu kini sudah tertutup rapat, lorong-lorong disini pun terasa begitu sepi. Tubuhku pun melemas hingga akhirnya terduduk di kursi tunggu.
Ku usap wajah ini dengan kedua telapak tanganku. Sungguh penyesalan datang selalu diakhir, seandainya aku tau akan berakhir seperti ini. Mungkin aku tak akan pernah meninggalkan untuk yang kedua kalinya. Lebih sakit dari yang sebelumnya.
Aku kini terlihat begitu lemah, tanpa tersadar air mata ini jatuh membasahi pipi. Kenapa harus seperti ini, kenapa harus dirinya yang menanggung semua ini. Masa lalu biar lah masa lalu, tapi kenapa disaat aku ingin merubah keburukan dimasa lalu aku malah di hantam dengan Batu besar yang membuatku sulit untuk menaklukkan nya.
"Pak, bapak di perbolehkan masuk" ucap seorang suster meyadarkan ku saat masih sangat terpuruk di kursi tunggu ini
"Sa-saya?"
"Iya, silahkan masuk pak" tawar suster itu
Tanpa berpikir panjang aku langsung berdiri dan menghapus air mata yang sempat membasahi pipi ini. Aku masuk bersama dengan seorang suster. Kini aku dapati dirinya lagi masih dalam keadaan yang sama, namun hidung nya kini di pasang sebuah selang kecil dan terlihat mengkhawatirkan.
"Ve yang minta, bukan gue" ucap jeje kecut kearah ku
Saat itu aku langsung duduk di kursi yang tersedia di sebelah tempat tidurnya. Ku ambil tangannya saat itu dan ku genggam erat. Seketika ia menoleh kearahku dengan tatapan basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Benci
Fiction générale[COMPLETED] Kini hanya tinggal rasa penyesalan yang ada di benak Ve. Bagaimana tidak, entah kenapa ia bisa jatuh kedalam perlakuan yang sungguh ia hindari. Kesalahan terbesar membuatnya harus berani mempertahankan semuanya. Rinal sang kekasih pun m...