Metta duduk bersandar di kursi paling belakang dengan kedua kaki terangkat di atas kursi. Ia tengah sibuk mengetik balasan untuk komentar akun sosial media miliknya. Entah berupa pujian akan kecantikannya ataupun berupa hujatan dan makian.
"Heh, grasak ya lo. Jangan banyak gerak ini belepotan!" Salak Lala saat ia sedang mengecat kuku Stephani. Mereka berada di kursi depan Metta.
"Bemo tau. Lama!" Balas Stephani tak kalah ketus. "Gue pegel ini."
Sudah sejam yang lalu saat pelajaran sejarah kosong , mereka sibuk saling mengecat kuku masing masing dengan warna merah menyala.
"Ini udah untung gue pakein. Bacot aja. Gue cat gigi lo mau sini, sini."
Metta tidak mendengarkan lagi pertengkaran kedua sahabatnya itu. Ia memutar mata malas. hanya mengangguk atau menggeleng jika sesekali mereka meminta pendapat Metta.
Suasana riuh khas kelas terpampang jelas di depan matanya. Ada beberapa anak cowok yang juga duduk di deretan kursi paling belakang mencuri pandang ke arah Metta. Sedang ada beberapa anak cewek yang meliriknya lalu kemudian berkerumun, bersiap menghina diam-diam.
Bagi Metta ia terlalu lelah untuk peduli pada hal semacam itu. Ada hal yang jauh lebih mengganggunya.
Perasaan kosong ini.
Kosong jenis mengerikan yang tidak bisa ia pikirkan bagaimana itu bisa menyerangnya.
Metta kemudian memilih bangkit seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku. Rambutnya yang tergerai di letakkan pada satu sisi bahu. Membuat kedua temannya yang masih bertengkar terdiam dan memandangi Metta.
"Mau kemana lo?" Tanya Lala.
"Cabut ?" sambung Stephani.
Setelah membenarkan letak roknya yang tidak nyaman ia menjawab "Toilet." sambil lalu.
Metta bahkan hampir bisa dibilang berjalan tanpa tujuan. Ia sebenarnya tidak ingin ke toilet. Ia hanya ingin membuang perasaan kosong di dalam dadanya ini ke suatu tempat.
Sejak melangkah keluar kelas, sudah banyak pasang mata cowok mengikuti langkahnya. Baik di lorong atau ketika Metta mekewati kumpulan cowok di depan kelas. Dan tidak luput dari godaan merayu Metta.
Baginya, menghadapi laki-laki seperti itu sudah sangat biasa. Ia sudah hampir dikatakan tahu apa isi kepala semua cowok ketika melihatnya.
Mengabaikan hal itu, Metta hanya berlalu dengan gaya congkak andalan miliknya. Yang justru bukan membuat cowok-cowok itu diam melainkan semakin gencar melemparkan rayuan.
Ketika sampai di ujung lorong dekat perpustakaan, tepat di belokannya Metta menabrak seseorang begitu keras. Membuat Metta terpekik lalu jatuh terduduk di lantai.
Bisa Metta rasakan sakit di bagian tubuhnya. Ia bersumpah dalam hati akan mencecar tanpa ampun siapapun yang sudah menabraknya.
Sosok yang ia yakini seorang cowok itu pasti sedang berusaha menarik perhatiannya. Dengan menggunakan cara klise seperti ini. Bertingkah polos lalu meminta maaf dan mulai merayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIN [Completed]
Teen Fiction(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) SEGERA DIFILMKAN. #1 in Teen Fiction, 25 Mei 2017 Ametta Rinjani Cewek paling cantik disekolah. Suka dugem, sombong, tidak peduli pada apapun selain dirinya sendiri. Memiliki predikat playgirl...