21 - Lebih Baik

495K 31.3K 5.7K
                                    

Belagu, mulut cabe, ngeselin.
Tapi gue suka. Kan Kampret! Guenya kampret!

- Ametta Rinjani -

Ini adalah lampu merah kedua yang mereka lalui setelah keluar dari gerbang rumah sakit. Bahkan setelah melewati portal masuk gedung apartemen pun Metta masih saja kesulitan menahan seringaian. cewek itu harus menggigit lidah atau bibirnya sendiri guna menahan senyum konyol yang bisa jadi akan terlihat oleh Raga.

Ketika sampai di parkiran, Raga keluar dari mobil dan membukakannya pintu. Metta hampir melompat karena senang namun sebisa mungkin ia menahan kakinya untuk diam. Mengikuti langkah cowok itu menuju lift dengan patuh. Setidaknya untuk sekarang, Metta tidak ingin membuat ulah.

Pijakan di bawah kakinya bergerak. Namun tetap saja tidak ada yang bicara di antara keduanya. Raga tampak tidak terganggu dengan sunyi yang ada, lain halnya dengan Metta yang terus mencuri lirikan pada cowok itu.

Sambil memperhatikan semua sudut di dalam kotak besi persegi itu, Metta kembali mengulang kalimat yang Raga ucapkan di rumah sakit. Membiarkan dirinya terlempar dalam kebahagiaan hanya dengan mengingat bagaimana Raga sudah menerimanya.

Sekali lo masuk, gue gak akan biarin lo pergi.

Lo gak bisa kemana-mana lagi selain sama gue.

Demi sepatu lima puluh ribu dollar miliknya yang patah, tidak pernah sekalipun Metta merasa sesenang ini. Mungkin mempermainkan perasaan cowok di masa lalunya bisa masuk hitungan. Namun kali ini berbeda. Perasaan asing menggelitik yang anehnya ia dapat dari seorang cowok paling tidak ia perhitungkan sama sekali.

Semakin banyak memikirkan ucapan Raga itu, semakin pegal juga bibirnya karena terus menahan senyum. Sebut saja terlalu sulit menyembunyikan, Metta jadi menggigit lidahnya sendiri terlalu keras.

"Auh...," pekiknya tertahan.

Raga yang sudah terlebih dulu melangkah keluar dari lift kemudian menoleh, menahan pintu dengan kaki. "Kenapa lo?"

Metta cepat menutup mulutnya dengan tangan dan keluar dari lift. "Lidah gue kegigit,"

Metta membuka kuncian kombinasi pintunya yang kemudian di dorong terbuka oleh Raga, membiarkan Metta masuk lebih dulu."Kenapa pake digigit?"

"Ya sih lidah gue ndiri ya, Ga. Tempatnya deketan sama gigi mau gimana coba," Sahut Metta sekenanya. Tidak berkeinginan lebih menjawab pertanyaan Raga itu. Cewek itu berjalan menuju tengah ruangan sambil mengipasi mulutnya sendiri ketika Raga justru menahan bahunya.

Raga membalik tubuh Metta hingga kini mereka saling berhadapan. Dengan entengnya cowok itu menarik dagu Metta mendongak. "Liat lidahnya,"

Hanya perlu seperkian detik untuk Metta melebarkan mata. "Apansih," ia melepaskan dagunya. "Gak papa. Lidah gue sehat wal afiat kalo lo penasaran."

Setelah mengatakan itu dengan ketenangan sempurna, Metta berbalik menuju sofa. Ia membuang semua bantalan ke lantai agar ia bisa bersandar nyaman. Mengangkat kedua kaki ke atas meja dengan tangan terlipat. Berusaha terlihat santai.

Tenang bego, tenang. Itu cuma Raga!

Metta meraih remote tv. Mencari channel apa saja yang menarik perhatiannya. Namun kedatangan Raga di samping sofa sangat mengganggu.

Cowok itu menggeser kaki Metta turun dari meja, mengambil alih tempat itu untuk ia duduki. Menghalangi pandangan Metta dari tv.

"Awaasss," ucap Metta seraya mengibas-ngibaskan tangan.

SIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang