5 - Bukan Gangguan Biasa

614K 34.3K 2.5K
                                    

Metta menunggu di motor cowok itu ketika langit sudah menggelap sempurna. Ia duduk disana dengan wajah sumringah karena berhasil mendapatkan keinginannya. Es krim yang ia beli di supermarket sudah habis setengah ketika ia melihat Raga muncul dari dalam gang.

Raut tidak suka dari wajah cowok itu memancing senyum Metta melebar.

"Udah?" Tanyanya.

Raga mengabaikan pertanyaan Metta. Ia meletakkan tas ranselnya di atas motor lalu menarik Metta turun dari motornya. "Harus berapa kali gue bilang jangan duduk di motor gue!"

"Iss... pelit amat sih," Gumam Metta. Ia menunjuk wajah Raga dengan es krim. "Lo marah-marah mulu cepet tua tau gak. Tetangga gue marah-marah besoknya udah langsung tahlilan."

Mengabaikan perkataan Metta lagi, Raga memasang jaket dan juga ranselnya.

"Heh, mau kemana?" Tanya Metta sambil menarik jaket Raga. "Katanya mau nganterin gue."

"Yaudah sana ke mobil lo."

"Loh,? Gue gak naik ini?" Tanya Metta menunjuk motor Raga bingung dengan es krim. Membuat lelehan dari es krim itu mengenai bodi samping motor.

Raga mendelik. "Kotor, gila!" ia mendorong tangan Metta menjauh. "Lo naik mobil lo, gue naik motor gue."

"Excuse me?"

"Gue bakal ngikutin mobil lo dari belakang." Sambung Raga.

"Aneh ya lo. Yaudah sih kalo lo gak mau gue naik motor lo, lo aja ikut mobil gue."

Raga mendengus. "Lo pikir lo siapa, bisa bikin gue ninggalin motor disini cuma buat nganter lo doang."

"Ribet tau!" Teriak Metta. Untung saja parkiran supermarket itu sepi."Jadi maksud lo kita jalan iring-iringan?"

"Cuma itu yang bisa lo dapet dari gue," ucap Raga menjauhkan Metta dengan mendorong bahunya."Cepet gue gak punya banyak waktu."

Metta tentu saja kesal. Ia membuang es krim yang masih tersisa setengah itu asal-asalan ke jalan. "Lo cowok paling aneh yang gue tau. Mana ada nganterin beda kendaraan gitu. Supir angkot aja nih ya nganterin penumpangnya pake satu angkot. Rama-rame sama yang numpang."

Raga sudah memasang helmnya. "Berisik. Lo gue tinggal banyak omong."

"Ihh... Ga! Yakali iring iringan gitu kek apaaan juga. Gue gak mau."

"Serah. Gue pulang sendiri kalo gitu."

"Eh eh eh..." Metta menahan bahu Raga, takut jika cowok itu pergi meski cowok itu tidak bergerak sedikit pun. "Oke. Kita iring-iringan aja jalannya. Tapi lo gak boleh kabur. Kalo perlu lo dempetan sama bemper mobil gur."

"Ck. Buruan."

Metta cemberut menatap helm berkaca hitam itu. Tangannya terkepal ingin mencakar sesuatu namun ia tahan. Ia sudah menghentakkan kaki dan berbalik ketika Raga menahan lengannya. Membuat tubuhnya berputar dan berhadapan dengan helm sport berwarna hitam.

Raga mengendikkan bahunya ke tanah. "Bawa sampah lo pulang. Lo bukan cuma beli isinya, tapi bungkusnya juga."

"Nanti juga ada yang bersihin. Buat itu mereka dibayar."

"Selagi lo bisa bedain mana sampah mana yang enggak, harusnya lo juga tau dimana tempat buangnya. Buat itu lo sekolah."

"Ga!" Metta menghentakkan kakinya.

"Satu bungkus es krim gak terlalu berat lo bawa kan?"

Metta ingin sekali mememecahkan helm itu dengan batu yang ada di dekat sana. Tapi itu kemungkinan mustahil karena ia bisa saja dikira sedang berbuat kejahatan. Metta melepaskan pegangan Raga, kemudian memungut bungkus es krim yang tadi ia buang sembarangan.

SIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang