10 - Dua Sisi

458K 26K 1.5K
                                    

Baru saja Raga menutup pintu rumah, ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar.

Ametta Rinjani : Kaki gue masih sakit. Salep kemaren abis. Terus tadi lo ngajak gue lari-larian. Udah gitu gak mau bareng lagi pulangnya. Gimana nasib gue? Tanggung jawab!

Raga mendengus. Cewek itu sangat manja dan pemaksa dalam satu waktu. Sebuah pesan line kembali masuk. Tepat di bawah kalimat sebelumnya.

Ametta Rinjani : Tapi, karena gue keburu baik, lo cuma perlu nebus pake jemputan besok. Gue ikhlas.

Raga yakin, tingkat kepercayaan diri cewek itu sudah melewati angkasa.

Ametta Rinjani : Ga, gue penasaran gimana itu Daisy liat mobilnya. Harusnya tadi kita nunggu di parkiran dulu.

Raga mengerutkan dahi ketika membaca chat yang masuk setelahnya. Mana bisa ia membiarkan Metta tinggal lebih lama di sana. Ketika mereka kembali ke parkiran saja, mobil Daisy sudah berpindah ke sebelah mobil Metta. Pecahan kaca yang sebelumnya ada sudah dibersihkan.

Untung saja orang-orang yang tadi mengejar mereka sudah tidak terlihat. Mungkin sibuk membuat laporan dan sedang berusaha mencari pelaku. Berada lebih lama disana hanya akan membahayakan cewek itu.

Raga berjalan dengan masih membaca pesan-pesan Metta yang masuk ke ponselnya. Ia memang tidak pernah membalas satupun. Tapi ia tetap membacanya.

Ametta Rinjani : Masa tadi satpam apartement bilang gue makin cakep. Emang kapan gue pernah jelek? Yaudah gue kasih aja duit 20 ribu buat beli roko.

Ametta Rinjani : Anjir gue lupa ada PR Kimia. Aksjdjhhfajdhhakl.

Ametta Rinjani : Gue laper, Ga. Tadi lupa drive thrue. :(

Ametta Rinjani : Di kulkas isinya mie sama bungkus telor doang.

Jujur, Raga agak penasaran dengan kehidupan Metta. Kenapa cewek itu selalu bilang lapar padanya. Dengan siapa cewek itu tinggal sehingga makanan saja tidak bisa ia dapatkan. Padahal apartementnya saja bukan untuk kalangan biasa.

"Dari mana kamu?"

Suara berat dan berwibawa itu membuat langkah pelan Raga berhenti. Ia menurunkan ponsel dan menyimpannya di saku.

"Dari rumah temen, Pa."

Sosok gagah dengan postur tubuh tinggi besar itu tengah duduk di sofa ruang tamu. Sebuah i-pad di tangan membuat perhatiannya hanya fokus kesana tanpa perlu repot menatap Raga. Dengan kaca mata bertengget manis di pangkal hidung, membuat siapa saja menjadi segan pada pembawaannya.

"Gimana sekolah kamu?" Tanya Surya pada anaknya. Pertanyaan rutin hampir monoton yang selalu ia tanyakan setiap hari. Dan Raga memiliki jawaban sama monotonnya.

"Lancar."

"Bagus."

Hanya sebatas itu hubungan keduanya. Selain darah yang sedang mengalir di bawah kulitnya ini, menjadi penerus satu-satunya perusahaan keluarga Atmidja-lah yang membuat Raga terikat pada Papanya.

"Raga ke kamar dulu, Pa."

Setelah melihat anggukan samar dari Surya, ia lalu menaiki tangga untuk bisa sampai di kamarnya. Ketika ingin membuka pintu, Sonya melongokan kepalanya dari pintu kamarnya. Jarak yang cukup jauh membuat Sonya memilih keluar dari kamar dan menghampiri Raga.

"Hayo ngaku, abang dari mana?" Tunjuk Sonya.

"Anak kecil mau tau aja."

"Pasti pergi sama cewek warna warni kemaren, deh."

SIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang