33 - Terluka

415K 30K 13K
                                    

I act like i don't care. So no one can see how much i hurt.

- Ametta Rinjani -

Ada satu kebiasaan yang hadir di dalam sebuah kesedihan.

Kamu akan terus memikirkannya. Tanpa peduli jika itu sangat menyakitkan. Meski itu melumpuhkanmu dari dalam. Bahkan menambah alasanmu terus menangis.

Lebih-lebih, kamu tidak akan bisa tinggal diam dengan jarak yang mengikis semakin jauh.

Lalu, apakah Metta menunggu jam pulang sekolah untuk mencari Raga?

Tentu saja tidak.

Ia telah melewati satu malam paling mengerikan lain di hidupnya dengan air mata, dan dia tidak bisa menunggu bel pulang berbunyi untuk menemui cowok itu.

Raga tidak bisa meninggalkannya seperti ini.

Disaat Metta sangat yakin jika perasaan mereka sama.

Setelah memastikan jika motor cowok itu terpakir di tempat biasa, Metta melesat melewati kerumunan. Bahkan sapaan Lala dan Stephani yang berpapasan dengannya tidak ia gubris.

"Eh bitch, kebelet apa gimana?" ucap Lala menyetarakan langkah cepat yang diambil Metta.

"Ini lagi marathon apa gimana sih ceritanya?" Stephani yang kesulitan menyeimbangkan langkah mengeluh. "Santai aja jalannya napa. Belum bel ini,"

Metta tidak menyahut. Ia sibuk melemparkan pandangannya ke seluruh lorong yang penuh dengan siswa.

"Lo kenapa deh, Ta?" Tanya lala yang menyadari perbedaan Metta pagi itu. Menahan Metta untuk berhenti. Memperhatikan lebih seksama jika ternyata penampilan cewek itu jauh dari kata baik. "Lo gak dandan atau emang dari dulu mata lo bengkak kaya babi gitu?"

Stephani ikut memperhatikan. "Lo abis nangis!" ucapnya menyatakan. "Bujug. Lo bisa nangis juga?!"

Lala beralih menatap Stephani dengan mata melebar. Kebodohannya tidak diperlukan sekarang.

Stephani yang mulai memahami keadaan mengganti pertanyaan. "Kenapa kenapa? Diapain lo sama Raga, hah? Kasih tau gue,"

"Ta," Lala memegangi pundak Metta, kepalanya masih bergerak kesana kemari. "Kita ke kelas dulu deh ya. Mumpung belum masuk,"

"Gue mau nyari Raga," Sahut Metta dengan suara paraunya.

Menghabiskan malam dengan menangis benar-benar membuatnya kesulitan terlihat baik-baik saja. Seperti menyembunyikan mata bengkak dan suara serak misalnya.

"Lo ada masalah?" Lala menarik Metta ke tepi, agar tidak menghalangi jalan. Diikuti Stephani yang sekarang berdiri di depan Metta. "Cerita dulu deh biar kita pada ngerti,"

Stephani menyisir rambut Metta dengan jari. "Lo bahkan gak sisiran. Ini bukan lo banget sumpah,"

Lala merengkuh pundak Metta. Menghalangi lirikan ingin tahu dari anak lain yang lewat. "Step, kita ke kelas dulu bawa Metta."

Disaat Lala berusaha memandu jalannya, Metta justru mengelak. "Gak mau, La. Gue harus nyari Raga."

"Ta!" Lala mencekal tangannya. "Dengerin gue. Raga gak bakal kemana-mana dan lo harus beresin itu muka,"

Alih-alih mendengarkan, dari balik kepala Lala, rupanya Metta menemukan siapa yang dicarinya. Ia pun langsung berlari menghampiri.

"Mana Raga?" Tanyanya pada Kevin yang sedang bersandar di dinding.

Kevin mengerutkan dahi, mungkin menyadari tampilan kacau Metta. Tidak biasanya cewek paling cantik di sekolah terlihat sangat berantakan.

Belum lagi Kevin menjawab, dari arah toilet di bawah tangga muncul orang yang dicarinya.

SIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang