Fünfzehn

92.3K 8.2K 97
                                    

[[Repost-karena suatu dan lain hal]]

*Warning : Penuh dengan adegan drama yang bisa membuat alis menyatu, membentuk garis lurus sempurna dan mual-mual*

Ata terpaku tepat di depan pintu ruang ICU. Indera penglihatannya menangkap sosok lelaki kebanggaannya sedang terbaring lemah di atas brankar, dengan berbagai selang terpasang di leher dan tubuhnya.

Dadanya terasa sesak, seakan terjepit diantara dua dinding yang sempit.

Tenggerokan Ata tercekat, tak ada suara yang bisa ia keluarkan saat ini, melainkan air mata.

Hampir saja Ata jatuh menghempas lantai jika Regha tak sigap menahan tubuh Ata yang limbung.

"Cha," Regha membawa Ata untuk duduk di bangku yang memang tersedia di depan ICU.

"Pa--"

"Shhtt.." Regha menarik Ata ke dalam pelukannya, dengan harapan gadis itu bisa merasa baikan. "Gue ngga bakalan tanya apa-apa. Nangis aja." Ujar Regha yang kemudian mempererat pelukannya.

Selang beberapa detik, suara tangisan Ata mengeras. Hanya suara tangisan Ata yang terdengar. Sesekali tangan Ata melayang, memukul dada Regha sambil sesenggukan.

"Gue anak ngga guna, Gha!" Lirih Ata sambil sesenggukan. "Gue bahkan ngga tau papa punya penyakit dan penyakitnya udah separah ini!"

"Cha--"

"Anak macam apa gue?!" Jerit Ata pilu seraya memukul dada Regha dengan lebih keras, melampiaskan segala yang terpendam dalam hatinya.

"Papa berjuang sendiri, Gha. Tanpa gue dan Bang Lintang. Sementara Mama ngga pernah peduli sama Papa." Keluh Ata.

Dahi Regha mengernyit heran, mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari bibir mungil Ata.

"Mama sibuk ngurusin pernikahan barunya, sedangkan Papa di sini berjuang melawan maut! Sendirian!" Raut kecewa, sedih, menyesal tampak jelas di wajah Ata, membuat Regha mau tak mau berusaha menenangkan gadis itu.

"Cha, liat gue."

Regha menangkup wajah Ata dengan kedua telapak tangan besarnya, membuat gadis yang berlinang air mata itu menatap kedua manik matanya.

"Lo harus kuat, demi Papa lo. Kalau lo selemah ini, Papa lo bakalan jatuh. Lo mau berguna kan? Jangan lemah." Kata Regha tegas.

Ata menggeleng, "Gue ngga bisa."

"Ngga ada kata ngga bisa dalam kamus gue."

"Itu dalam kamus lo! Dalam kamus gue, ada!" Bentak Ata.

"Dengerin gue!" Regha menjeda kata-katanya dengan tarikan nafas yang disusul helaan nafas pelan. "Papa lo di dalam, butuh support dari lo, Matahari Nafasya. Kalau lo kaya gini, papa lo pasti menyerah buat hidupnya. Hidupnya dia bakalan sia-sia kalau cuma ditangisin kaya gini! Yang dia butuhin itu support dari lo, Cha. Semangatin dia. Buat dia merasa dibutuhkan di sini."

Sementara yang dibentak hanya bisa meneguk salivanya dengan susah payah. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk tetap tegar.

Saat melihat Ata, satu tekad mendadak bersemi di lubuk hati Regha. Yaitu, mewarnai hari gadis itu dengan keceriaan. Takkan dibiarkan gadis itu terus terpuruk dan memendam semuanya sendirian.

••••

Dua cangkir hot chocolate tersedia di hadapan Ata dan Regha yang sedang duduk berdua di balkon kamar Regha, keduanya terdiam menikmati semilir angin malam yang menerpa wajah dan menerbangi anak rambut Ata yang sudah tercepol rapi.

Matahari Di Atas Samudera ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang