Bab 2: Kematian dan Hutang

50.4K 2.6K 37
                                    


Langit gelap menyambut kedatangku di kota kelahiranku. Langit yang sama ketika aku pergi meninggalkan pulau dewata, meninggalkan orang-orang yang mengkhianatiku dan menghancurkan masa depanku.

Aku masih ingat jelas tatapan Luluk padaku saat aku kembali ke tempat terkutuk, tempat aku menemukan mereka melakukan hal menjijikan dengan kedua mataku. Luluk terduduk dengan muka cemas yang sangat aku kenal setiap kali dia berbuat salah di ruangan depan menunggu kedatangku.

Aku tidak ingin bertemu dengannya, tidak. Aku tidak ingin melihat muka menjijikannya. Aku berjalan begitu saja melewatinya untuk masuk ke dalam kamarku. Dia berlari kecil mengikutiku dari belakang dan menarik lenganku hingga berbalikk menatap tubuh kotornya.

"Aku bisa menjelaskan semuanya. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu..." isakannya yang terdengar begitu menyakitkan di telingaku. Aku hanya bisa menempis tangannya dariku. Aku sudah jijik melihatnya. Aku tidak mau dia menyentuhku.

Aku mengambil koper besarku yang aku bawa bersamaku saat pertama kali menginjakan kakiku di pulau ini bersama Luluk. Tanpa banyak bicara aku memasukan seluruh pakaianku yang dapat aku masukan ke dalam koperku. Melempar sepatu berhargaku begitu saja kedalam dan menutupnya dengan paksa, karena saat ini koperku terlihat menonjol bagai ibu hamil tapi di setiap sisinya.

"Apa yang kamu lakukan? kamu mau pergi? Meninggalkanku?" Luluk berdiri di depan kamarku dengan mata sembabnya.

"Minggir."

"Kita perlu bicara. Aku bisa menjelaskan semuanya."

Aku mendelik ke arahnya masih mencoba menahan emosiku yang mulai mendidih kembali secara perlahan.

"Aku bilang MINGGIR!" Aku mendorong tubuhnya, tapi tubuh kecil Luluk masih bertahan di tempatnya. Aku mencoba mendorongnya lagi dengan kedua tanganku dan melepas koperku di sebelah kakiku. Luluk mencengkram kedua tanganku, sehingga membuat kedua tanganku terangkat ke udara bersamanya.

"Aku menyukainya. Aku menyukainya lebih dulu darimu. Aku bertemu dengannya lebih dulu darimu. Aku juga mencintainya, jauh sebelum kamu bilang kalau kamu mencintai Hendra padaku," ujarnya dengan lirih, suara isakan teerdengar di setiap kalimatnya.

Aku merapatkan kedua bibirku hingga aku bisa mendengar gertakan gigi depanku yang bertemu di dalam mulut. Aku mengambil napas dengan cepat masih mencoba menenangkan diriku, tapi aku tidak mau mendengarkan perkatannya. Tidak sama sekali.

Aku menarik tanganku ke bawah, hingga Luluk melepas cengkramannya dan mendorong tubuhnya secara tiba-tiba, sehingga membuatnya jatuh ke belakang sehingaa pantatnya menabrak lantai begitu saja. Aku meraih koperuku dan menyeeretnya begitu saja keluar dari tempat kotor yang membuatku sesaak .

Aku berjalan dengan cepat, seperti berlari sambil menggeret koperku tanpa memperdulikan panggilannya di belakang. Saat itu, yang ada dipikiranku hanyalah pergi. Pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Pergi dari pulau itu. Sehingga aku rela merogoh kocekku untuk membeli tiket kapal agar aku terbebas dari tempat itu dan teerdampar di kota tempatku berlabuh. Surabaya.

"Taksi, ning? Mau kemana?" seorang bapak-bapak tua dengan rambutnya yang putih menyambutku yang berdiri diam di pintu luar pelabuhan. Aku menatap bapak itu diam sambil berpikir.

apa ada tempat yang ingin aku kunjungi disini? aku tidak kenal siapapun disini. bahkan aku tidak punya pekerjaan.

Aku menghela napas panjang ketika ingat aku tidak memiliki pekerjaan dan berdiri di kota asing. Aku menatap langit gelap karena saat ini sudah jam delapan malam lewat. Sudah malam dan aku lelah. Lelah dengan semua drama yang terjadi denganku. Lelah dengan kepelikan yang menimpa diriku. lelah dengan perjalanan panjang bersama orang-orang asing di dalam kapal.

Wedding Breakers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang