Sepulang dari rumah saudaraku itu aku langsung berbaring dikamar, perasaanku kali ini dalam kadar down parah. Apalagi setelah mendengar omelan suadaraku itu.
"Kamu tuh ya, aku sih kalo kamu mau pacaran sama anak kelas dua belas sih 'gak terlalu masalah selagi dia suka juga. Tapi kamu deketin anak rohis? Bodoh, idiot."
Memang apa salah nya dengan anak rohis? Justru anak rohis itu pasti akan menjaga pasangannya, dan pastinya tidak akan dirusak. Jangankan dirusak dipegang saja pasti berpikit berkali-kali terlebih dahulu.
Badanku terasa pegal hari ini, dan juga kepalaku sedikit sakit sejak tadi pagi. Mama bilang kalau aku terkena akan terkena demam. Terlalu lelah, kata Mama. Lelah karena mengharapkan cinta dia mungkin.
* * *
Esok nya aku 'tak bisa masuk sekolah, karena keadaan tubuh ku sedang drop jadi Mama menyuruhku istirahat dulu dirumah. Serasa berada di surga kalau pada hari senin libur sekolah, 'tak usah mengikuti upacara bendera dan panas-panasan menanti berakhirnya sesi amanat pembina upacara yang 'tak jauh pasti tentang kebersihan lingkungan dan segala tentang sekolah.
"Eh put, lo udah masuk? Katanya sakit." Tanya Vitta, dia ini memang suka datang kesekolah paling pagi dibandingkan aku, Tara dan Caca karena rumahnya terbilang cukup jauh dibandingkan kami berempat jadi ia berangkat pagi kesekolah.
"Iya nih. Ini juga masih pusing." Ucapku setelah menaruh tas di bangku depan Vitta dan langsung duduk menghadap Vitta.
"Harusnya lo jangan dulu masuk kalo masih sakit."
"Hmm. Dikit ko."
"Put, elo nyesel deh kemaren 'ga masuk." Tara yang baru datang pun langsung duduk di samping Vitta.
"Lah emang kenapa?."
"Lu nyesel banget deh pasti." Tara terus berbicara tanpa mau memberitahuku.
"Apa sih, Vit?."
"Itu kemaren Kak Dhika bacain janji pelajar. Kemaren kan giliran kelas nya Kak Dhi."
"SERIUS?."
* * *
Bahuku merosot saat mendengar perkataan Vitta barusan. Aku menyesal kemarin tidak masuk, seharusnya aku masuk saja dan jam istirahat aku pulang. Penyesalan itu emang ada di akhir memang.
"Tau gitu gua masuk kemaren." Aku kesal pagi-pagi mendengar kabar itu. Seharusnya kemarin aku melihat Kak Dhi membaca janji pelajar saat upacara.
"Beuhh cakep banget Kak Dhi kemaren."
"Tar, udah ah. Bete nih gua."
"Haha, kalo Kak Dhi cinta sama gua gimana?."
Dada ku bergemuruh, aku terus menarik dan mengeluarkan nafas yang tidak beraturan saat mendengar Tara bicara seperti itu.
"Cinta 'kan 'gak bisa dipaksain. Kalo cinta ya mau gimana lagi." Hanya itu yang bisa aku katakan. Karena kalo emang bukan jodoh mau gimana lagi. Jodoh 'kan sudah diatur oleh yang di atas untuk apa ribut masalah jodoh, jodoh itu tidak mungkin tertukar mungkin tersesat dihati orang lain saja. Dan kalau kak Dhi memang cinta pada Tara, aku bisa apa?.
"Kalo jodoh nya sama gua?."
"Ya 'gak apa apa. Berarti dia memang yang terbaik buat lo."
"Kalo gua nikah sama Kak Dhi, apa lo bakal dateng ke acara nikahan gua sambil bilang selamat?."
"Pasti. Karena lo sahabat gue, Tar."
"Lo gak bakal nangis kejer depan Kak Dhi kan?."
"Buat apa? kalo dia sampe nikah sama lo, ya gua bisa apa? Cuma bisa bilang 'selamat' aja kan. 'Gak mungkin gua rebut suami orang."
"Dan apa lo bakal berhenti berjuang?."
"Gua 'gak bakal berhenti berjuang. Gua cuma diem dibelakang kalian tanpa ganggu sambil nunggu seseorang yang bakal dikirim Tuhan untuk gua kelak."
* * *
"Put, put, Kak Dhi tuh lewat. Jir jalannya."
"Si ganteng lewat."
"Jalan nya songong iwh."
"Kalian stop deh. Cogan gua lewat harus stay cool dong, jangan kaya cabe-cabean ah." Mereka itu memang memalukan sekali jika bertemu atau melihat kak Dhi melintas dihadapan kami.
"Gua tuh kalo liat dia lewat kek liat calon imam masa depan." Lanjutku yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari para temanku, aku langsung berlari menuju kelas untuk menghindari teman-temanku yang berkolaborasi ingin membunuhku saat itu juga.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN?
Teen Fiction"Jadi, kapan Kak Dhi suka sama gue?" -Putih "Percuma, dek, perhatian sama saya, saya sudah punya calon istri!" -Dhika Sep, 2016