Ambigu

681 36 2
                                    

"Kamu itu ngomong apa si, dek? Kakak kamu itu anti banget sama pacaran 'masa tiba-tiba udah ada anak, ngaur kamu." Sang wanita pun sedikit tertawa memberitahu sikap anak sulung nya pada anak bungsu nya.

Aku hanya diam, kak Dhi pun menghembuskan nafasnya kasar dan berbalik badan pergi meninggalkanku dan keluarganya.

"E--tunggu, kak." Aku nyalami kedua orang tua kak Dhi sambil tersenyum dan sedikit membungkuk hormat lalu pergi mengejar kak Dhi yang sudah didepannya.

"Kamu gak perlu dengerin omongan adek saya tadi." Gumam kak Dhi pelan. Aku saja 'agak kurang dengar akibat efek musik dan ramainya ruangan yang aku angguki saja.

"Iya, kak."

"Lucu ya, adek, kakak. Manis, kaya cowok korea." Ucapku sambil memegang pipiku mengingat manisnya pria korea. Uuu.

"Hm." Kak Dhi berdehem tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Mama, kakak, juga masih muda, cantik." Ucapku riang sambil tersenyum semanis mungkin.

"Hm." Ia bergumam kembali tanpa mau menjawab perkataanku. Akhirnya aku diam, tak mau membuka suara lagi. Dari pada dikacangin mending diam kan?.

"Kamu sama sekali gak ingat kalau keluarga kamu duduk dimana? Kita hampir mengelilingi gedung ini." Akhirnya suara yang aku tunggu-tunggu pun terdengar.

"Lupa." Aku menunduk murung. Kalau aku ditinggal gimana nasib aku? Coba bawa bocah lagi. Mana dompet ketinggalan di meja lagi.

"Mending kamu telepon saja, kamu bawa ponsel kan?." Tanyanya berhenti dihadapanku. Aku masih menunduk dan menggeleng pelan. Terdengar helaan nafas kasar kak Dhi.

"Maaf ngerepotin kakak terus. Aku bisa pulang sendiri kok," tangan ku melayang di udara hendak mengambil Bima dari gendongan kak Dhi yang sudah tertidur pulas akibat setelah menangis tadi.

"Saya antar." Ia berjalan kembali ke depan tanpa menoleh sedikitpun kearahku.

"E--eh gak usah, kak. Gak usah." Jalanku terseret akibat takut terjatuh karena memakai wedges. Harus nya aku pakai flat shoes saja tadi.

Sesampainya diparkiran ia membuka pintu depan mobil tempat pengemudi dan hilang di telan mobil. Aku pun hendak memasuki mobil namun aku kan belum diperbolehkan masuk, 'masa aku harus nyelonong masuk gitu aja? Gak tau sopan santun dong. Akhirnya aku memilih untuk diam didekat jendela, sampai jendela itu terbuka dan menampakan wajah kak Dhi.

"Mau sampai kapan kamu membuat saya menunggu?." Ucapan itu membuat aku bengong. Bingung.

"Aku belom disuruh masuk." Ucapku polos, kak Dhi sedikit terkekeh dan berkata,

"Masuk, jangan biarkan aku menunggumu lagi."

Aku membuka pintu depan dan segera duduk. Kak Dhi masih mengendong Bima,

"Sini, biar aku aja yang gendong Bima. Kakak pasti keberatan gendong dia dari tadi." Aku mengambil Bima dari pangkuan kak Dhi tanpa penolakan kak Dhi pun menyerahkan Bima padaku.

Bima sedikit menggeliat saat tanganku hendak mengambilnya, mungkin ketenangan tidurnta terganggu.

"Cup... cup... ini Aunty," aku membisikan kata-kata yang membuat Bima kembali tenang dengan tidurnya. Tanpa aku sadari seseorang disampingku yang terus memperhatikan gerak-gerikku sejak tadi tersenyum kecil.

* * *

"Coba hubungi salah satu keluargamu." Ucap kak Dhi sambil mengasongkan ponsel nya dihadapanku. Aku dengan ragu bertanya,

"Apa boleh?."

"Kenapa kamu selalu bertanya jika aku sedang melakukan pertolongan?." Maksudnya apa? Gak ngerti aku, mas.

"Maksud kakak dengan 'pertolongan' itu apa? Aku gak ngerti."

Dia menghela nafas, "Tak lihat bahwa aku sedang mencoba menolongmu yang hilang dari lingkup keluarga bersama bocah kecil?."

"Eh. Iya ya?." Kenapa aku jadi seperti orang bodoh seperti ini. Huh memalukan.

Aku mengambil ponsel kak Dhi mengingat nomer salah satu keluargaku yang sama sekali tak aku hapal. Nomer sendiri aja masih sering lupa apalagi nomer orang lain kan?.

"Aku gak inget, kak. Hehe." Aku sedikit tertawa tak berdosa masih menggenggam ponsel miliknya.

"Apa nomer kamu sendiri tak kamu hapal? Kamu bilang ponselmu tertinggal bersama dompet di meja tadi kan." Aku mengangguk dan mencoba mengetik nomer ponselku yang masih sedikit salah angka.

"Nah, nyambung, kak. Bentar-bentar." Aku menunggu jawaban telepon disana. Dan akhirnya terdengar suara,

"Asalamualaikum. Hallo, saya bicara dengan siapa ya?." Suara disebrang sana terdengar membuat aku memekik senang.

"Waalaikumsalam. Mama, ini Eneng. Mama dimana? Eneng nyariin Mama, ish." Aku mengomel, bibirku maju beberapa senti kedepan. Kesal.

"Yaallah. Eneng kemana aja? Ngambil kue juga lama banget. Ini Mama masih didalem,"

"Bentar Eneng kedalem. Tunggu deket pelaminannya aja, biar gampang nemuin nya."

"Iya,"

"Oke, Asalamualaikum, Mama."

Sambungan pun terputus. Aku tersenyum senang, sambil menggenggam ponsel kak Dhi dan hendak berteriak senang karena tidak tinggal pulang. Namun aku tersadar bahwa ada orang disampingku yang sedari tadi melirik kepadaku. Aku mengalihkan pandanganku menatap matanya.

"Makasih, kak." Aku mengasongkan ponselnya dan dia mengambilnya sambil mengangguk pelan.

"Em, kak. Ternyata Mamaku masih didalam, makasih untuk pertolongan yang kakak lakuin barusan. Permisi." Aku hendak keluar membuka pintu mobil namun tertahan saat tanganku dicekalnya.

"Biarkan saya yang antar untuk kali ini. Hubungi lagi keluargamu, katakan kalau kamu pulang bersama saya." Ucapan itu terasa tegas dan memerintah. Aku yang tadi nya hendak keluar namun malah tertahan, gerogi dipegang tangan. Aku manatap tanganku yang masih dibalutan tangan hangat kak Dhi. Ia pun melirik tangannya dan menariknya kembali.

"Maaf. Gerak reflek."

* * *

Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju rumah diantar kakak tampan. Hm.

"Saya lapar. Cari makan dulu ya, kamu gak keberatan kan?." Akhirnya suaranya terdengar setelah sekian lama kami terdiam dalam pikiran masing-masing.

"Iya, kak."

Mobilnya pun terhenti disalah satu cafe. Ia memarkirkan mobilnya. Kak Dhi turun terlebih dahulu. Aku kesusahan untuk bangun karena Bima masih belum terbangun. Kak Dhi membukakan pintu tanpa ku sadari, aku menatapnya bingung. Kenapa dibukain?.

"Sini. Biar saya yang gendong Bima." Dia mengambil Bima tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu. Aku hanya diam dan keluar dari mobil. Aku mengikuti arah langkah kaki kak Dhi yang berjalan duluan dihadapan. Ia terliahat lebih macho saat berjalan memakai tuxedo dan menggendong anak kecil. Makin tampan.

Kami makan dalam hening. Bima yang baru saja bangun karena tidur nyenyak nya terusik oleh suara ramai pun ikut makan dengan berceloteh ria membuat aku dan kak Dhi tertawa.

"Om, mamam ya. Aaaaa." Celotehan Bima yang hendak menyuapi kak Dhi yang dibalas dengan terbuka nya mulut kak Dhi siap menerima suapan dari Bima.

"Kalang, Aty mamam ya. Aaaa." Bima mengarahkan sendok yang ia pegang kearah mulutku. Segera aku membuka mulutku dan memakannya.

"Sekarang, dedek. Aaaa." Aku mengambil kentang goreng yang dipesankan oleh kak Dhi tadi dan melanyangkan nya kedepan mulut Bima. Dengan senang hati Bima membuka mulut dan langsung memakannya rakus.

"Harmonis sekali, nak, keluarga kecil kalian." Seorang lelaki paruh baya bersama wanita yang terlihat sedang mengandung. Aku hanya diam mendengar ucapan pasangan itu.

"Terimakasih, pak."

Suara itu. Aku langsung menoleh kearah kak Dhi yang tersenyum kepada pasangan itu yang berjalan pergi mencari tempat duduk.

Aku masih diam tak mengerti. Apa maksud dari 'terimakasih' yang keluar dari mulut kak Dhi. Sedangkan dia malah membalas tatapan tanda tanyaku dengan salah satu alis nya terangkat. Ambigu memang.

WHEN?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang