Kalau ada yang mau menunggu terus tanpa kepastian itu pasti bohong. Ada saat tahap kejenuhan. Seperti pelajaran Ekonomi, lebih tepatnya hukum Gossen I, dimana dalam tahap awal akan nikmat dan diakhir akan jenuh. Lagi pula menunggu itu salah satu kegiatan yang sangat menyita waktu dan perhatian. Lebih tepatnya capai hati.
Bukan aku sudah tak suka lagi padanya, namun aku hanya manusia biasa yang mudah jenuh dan bosan. Mau dikata seperti apa pun hatiku menolak untuk terus tersakiti seperti ini. Aku memejamkan mata, perkataan yang keluar dari mulutku tadi seakan menjadi mantra untuk melupakannya. Toh masih banyak yang mau sama aku.
Oke, mulai sekarang aku akan mencoba. Mungkin.
* * *
"Pagi, Rik" aku menghampiri Rika yang sedang memakan sarapannya dikantin. Resiko nge-kost dan gak bisa masak sih gini.
"Pagi." Suaranya datar sekali. Tumben.
"Lo kenapa deh, Rik." Aku sedikit mengernyitkan alisku.
"Gue kenapa emang?"
Tuh kan, dia aneh hari ini. "Lo kalo ada masalah cerita sama gue, Rik. Selama ini lo anggap gue apa?" Aku pura-pura sedih.
"E-eh, gak ada kok, Put. Ya ampun lo baperan amat sih? Effect ngejones terlalu lama ya gini. Gak heran sih gue."
"Emang sialan, ya, lo, Rik." Aku mendengus kasar.
"Mm, emang keliatan ya, Put?"
"Apanya?,"
"Emak gue minta gue buat pindah kampus ke Jogja, Put."
"Eh, kenapa? Jakarta sama Jogja kan gak terlalu jauh." Heran sekali dengan keluarga nya Rika ini. Dulu dia dipaksa mandiri sekarang disuruh kembali lagi ke kampung halaman.
"Gue mau di jodohin." Rika menundukkan kepalanya. Pantas saja raut wajahnya seperti orang yang sedang frustasi.
"Jadi karena lo di jodohin, emak lo nyuruh untuk kuliah di Jogja aja?"
Rika mengganggukkan kepalanya pelan. Ku jamin sebentar lagi air mata nya mengalir.
"Gue gak tau harus terima perjodohan ini apa enggak. Tapi emak gue bilang kalo gue boleh pertimbangin dulu."
"Mending lo coba tahap perkenalan aja dulu, kali aja lo cocok sama dia."
"Iya, Put. Emak gue juga nyaranin gitu. Tapi lo tau sendiri emak-emak pasti ngerumpiin kebaikan dia." Rika menghempaskan nafasnya kasar. "Emak gue bilang kalo cowok itu mapan, tampan, matang. Cocok buat gue katanya. Emang nya gue mau jadi mahmud kali, ya?"
"Leh ugha tuh. Kasih gue ponakan segudang, oke."
"Anjir, lo sangka gue pabrik anak." Rika menoyor kepalaku. "Tapi kalo gue balik ke Jogja lo sama siapa? Kan gada yang mau jadi temen lo selain gue." Ucapnya lagi.
"Sialan."
* * *
"Assalamualaikum, Ma, Eneng pulang." Aku memasuki rumah, sepi sekali rasanya. Aku lihat didapur tak ada siapa-siapa. Aku melangkah keruang keluarga juga tak ada siapa pun. Akhirnya aku memilih masuk kamar dan segera merebahkan badanku. Rasanya nyaman sekali.
Sudah lama rasanya aku tak bertemu dengan Vitta, Tara, dan Caca. Apa kabar ya mereka?, Aku putuskan untuk membuka aplikasi LINE dan mencari nama mereka.
White.
Lama tak jumpa kawan.
Do you miss me?Aku rasa perutku mulai lapar. Aku pergi kedapur. Mencari makanan. Tapi sialnya tak ada makanan. Dikulkas pun hanya ada bahan mentah. Sungguh perutku sudah tak bisa menunggu lagi. Apa boleh buat aku harus pergi keluar jika ingin makan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN?
Teen Fiction"Jadi, kapan Kak Dhi suka sama gue?" -Putih "Percuma, dek, perhatian sama saya, saya sudah punya calon istri!" -Dhika Sep, 2016