PROLOG

1.3K 261 51
                                    

Dear Rangga Aqsa Dermawan,

Lo tau, Ngga?

Hari ini tepat 18 bulan lo pergi. Meninggalkan berbagai perasaan hati yang tak bisa berhenti. 18 bulan tanpa lo, gue ngerasa banyak yang nggak lengkap. Apa London begitu menarik buat lo daripada Indonesia?

Ngga, harapan gue masih sama kayak senja kemarin. Gue pengen lo balik ke Indonesia dan sekolah lagi di Wizard High. Gue janji, setelah lo balik ke Indonesia, gue berhenti suka sama lo.

Lo tau? Memendam rindu sendiri dan membisikkan rindu hanya pada angin malam itu kepedihan yang menyiksa. Gue kangen lo, Rangga. Gue nggak bakal ngomel deh, kalo lo mutusin buat tetep dingin.

18 bulan berlalu, bekas peluk tubuhmu di hatiku masih menghangat tanpa ba-bi-bu. Rangga, gue kangen lo. Please, balik.

21 September, Nasya Afaysh

Gadis itu melipat kembali kertas yang baru saja selesai ditulisnya. Origami berwarna biru muda itu ia masukkan ke dalam sebuah kotak yang di dalamnya juga sudah ada berbagai warna origami. Dia mengambil napas sebelum memasukkan kertas harapannya lagi.

Sejak, seseorang yang dicintainya pergi, beginilah caranya mengisi waktu senggang.

Ditariknya napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri. Suara ketukan pintu kamar, membuatnya menoleh dan tersenyum mendapati seorang gadis kecil masuk.

"Kenapa?" tanyanya ketika adik bungsunya itu berjalan ke arahnya sambil membawa buku.

"Nggak pa-pa," jawabnya khas seperti anak kecil lain. "Kakak sibuk?"

"Enggak." Nasya tersenyum lalu mendudukkan bocah berumur lima tahun itu di atas tempat tidurnya. "Kamu butuh apa?"

"Fisha ada PR," adunya sambil membuka buku yang ada di tangannya. "Disuruh bikin ini. tapi Fisha nggak tau cara buatnya gimana."

Nasya memerhatikan tulisan Nafisha sebelum akhirnya tersenyum. "Masa adiknya Nasya Afaysh nggak bisa bikin huruf Q?"

"Susah, kaak," rengek Nafisha seraya merengut.

"Sini, Kakak ajarin." Nasya mengambil pulpen yang tadinya digunakan untuk menulis coretan asal-asalnya. Dimulainya menuliskan huruf Q. "Kayak huruf P. Cuma ngadep kepalanya kebalik. Kalau P, kepalanya ngadep kanan. Kalo 'q' kepalanya ngadep kiri. Gampang, kan?"

"Bukaan yang itu, kaaak!" Nafisha memerhatikan tulisannya. "Huruf Q nya huruf kalipat."

"Kalipat?"

"Iya, kalipat." Nafisha mengangguk polos.

"Kalipat gimana?" Nasya menggaruk kepalanya. "Coba contohin satu."

"Gini, kalau huruf B, huruf kecilnya bundernya dibawah, cuma satu. Kalau huruf kalipatnya, bundernya ada dua, atas bawah," jelas Nafisha sambil menuliskan bentuk huruf yang dimaksudnya,

Setelah paham maksud adiknya, Nasya langsung tertawa. "Namanya huruf kapital, Sha. Bukan kalipat."

"Iiih pokoknya, itu."

Nasya masih kesusahan menahan tawa. "Kalau Q kapital, bentuknya kayak kecebong. Anakan katak gitu. Kamu tau, kan? Bunder besar, terus diujung sininya ada ekor."

"Cobain!" Nafisha mengambil pensil dari atas telinganya lalu mencoba menuliskan penggambarannya tentang kecebong.

Sambil menunggu adiknya selesai menulis, Nasya teringat akan sesuatu. "Kok bikinnya nggak di kamar Kak Bara?"

Sontak, Nafisha terkejut. "Nggak dibolehin Nenek. Katanya, nanti ngeganggu Kak Bara yang kecapekan pulang sekolah."

Nasya memperhatikan lagi adiknya. Dia menghela napas panjang. "Fisha nggak marah, kan?"

"Kenapa?" pertanyaan polos itu keluar.

"Nggak, nggak pa-pa." Nasya mengelus ubun-ubun kepala si bungsu.

"Nenek ... sama Mama tadi berantem," adu Nafisha ketika Nasya baru saja ingin membuka ponselnya. "Nenek nggak ngebolehin Fisha belajar di kamar Kak Bara. Tapi, Mama bilang, nggak ada hal yang bakal bikin Kak Bara capek kalau misalnya Fisha belajar di kamar Kak Bara. Kak Nasya ... sebenarnya kenapa, sih Fisha nggak disayang Nenek? Fisha bukan anak kandung, ya?"

Nasya membeku mendengar pertanyaan adiknya. Tidak, lebih tepatnya mati rasa meski hanya sekejap.

"Enggak, siapa yang bilang?" Nasya mengusahakan agar senyumnya terlihat jenaka. "Fisha keseringan nguping Nenek yang lagi nonton sinetron nih."

Nafisha tidak membalas ucapan Nasya. Dia hanya tersenyum tipis, kemudian berdiri dan pamit pada Nasya untuk mengerjakan PR di kamarnya karena tugasnya sudah selesai.

"Maaf Sha," ucap Nasya ketika punggung adiknya itu sudah hilang di ambang pintu.

Dua tahun lalu, Papa Nasya meninggal. Dua tahun lalu, Mamanya membawa seorang gadis kecil yang entah siapa. Dua tahun lalu, Nasya mengetahui kalau gadis kecil itu adalah Nafisha, adik angkatnya. Dua tahun lalu, semenjak Nafisha masuk ke rumah ini, Mama dan Neneknya selalu bertengkar.

Dan ... sekitar dua tahun lalu, dia kehilangan seseorang.

Nasya berjalan ke arah balkonnya. Memandangi bulir hujan yang menetes rintik-rintik sisa tadi sore. Dipejamkan mata, lalu dia berdoa. Begitu khusyuk, sampai tidak sadar beberapa meter darinya, ada sepasang mata yang sejak tadi memerhatikannya.

"Rangga! Makan malemnya udah siap!"

===Music===

Started With MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang