Music (Z) : Zio Yang Harus Selalu Mengerti

203 105 33
                                    

DIRASA tidak cukup hanya menunjukkan pertunjukan dengan lagu favorit Nasya, Zio membawa perempuan itu berkeliling, kemana saja, dengan tangan yang pengaitnya tidak pernah terlepas.

Jika Nasya tidak suka, maka pegangan itu akan terlepas. Namun, sejak dari rumahnya sampai sekarang di toko es krim, tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia terusik dengan pegangan itu.

"Sebenarnya gue bingung," celoteh Nasya saat mereka sedang dalam perjalanan menuju kafe, untuk makan siang. "Lo kenapa tiba-tiba nyanyi lagu tadi? Ngajakin gue jalan? Atau yah, hal sejenisnya. Kita nggak lagi memperkuat chemistry, kan? Soalnya seingat gue, untuk beberapa hari ke depan, belum ada tur besar."

Zio tersenyum kecil. "Kan kencan, ya harus begini."

"Kencan?" ulang Nasya. Dia menarik napas dalam-dalam. "Kalau lo begini terus, Yo, gue nggak akan segan-segan meleleh kayak es krim ini. Kalau bukan karena gue temen lo dan kita harus professional, gue udah bilang kalau yang tadi itu ... romantis pake banget-banget-banget. Diiket pakai karet, deh, biar istimewa."

Zio terkekeh mendengarnya. "Waktu gue sekolah di Wizard High, meski nggak terlalu lama, gue pernah dengar julukan kalau lo anggota Alayers sekolah. Sekarang, gue udah bisa tau kenapa lo bisa tergabung diantara Aviva dan yang lain."

Nasya refleks terbahak. "Emang gue sealay itu?"

"Ada yang lebih alay ketimbang ngomong banget sampai tiga kali demi nyenengin seseorang?" tanya Zio dengan kilat jenaka, Nasya tertawa menanggapi pertanyaan itu.

"Alay-alay begitu, temen-temen gue punya prestasi sendiri tau, di sekolahnya," bela Nasya dalam konteks bercanda, dia sama sekali tidak tersinggung. "Ketimbang lo, pas sekolah, kerjaannya nguntit gue melulu."

Memang, dulu selama di sekolah, Zio lebih sering mengakrabkan diri dengan anggota Eagle ketimbang bergaul dengan anak-anak lain. Alasannya tidak muluk-muluk, sebelum bersekolah di sana, Zio adalah siswa tengil yang sering menjahili temannya di sekolah lamanya. Bukan sekolah bergengsi sejenis Wizard High.

"Gimana gue nggak mau berhenti nguntit kalau ditinggalin sendiri lo suka nangis?" Zio menaikkan sebelah alisnya. "Iya, kan?"

Geram, Nasya menggeplak kepala Zio yang tengah menyetir. "Itu masa-masa kelam."

"Tapi menurut gue bukan masa-masa kelam," sela Zio. "Waktu itu, kita deket banget, Nas. Jadi, ya ... nggak bisa dibilang kelam juga. Lo kan deketan sama Zio, si Albizio Ozora, vokalis band Eagle yang kegantengannya udah men-Indonesia."

Nasya memundurkan wajah. "Sejak kapan kadar narsistik lo bertambah pesat?"

"Nggak percaya kalau gue ganteng?" titah Zio, menantang. "Gue tanya sama orang di luar, nih. Atau gue nyari tempat tongkrongan anak-anak cewek, terus gue senyumin deh mereka. Liat aja, reaksinya kalau nggak teriak, pingsan, atau jerit-jeritan bilangin gue ganteng."

Nasya mencibir. "Begitu?"

"Iya."

Nasya manggut-manggut. Wajah bercandanya masih terlihat dan itu membuat Zio tidak tahan untuk melemparkan sahutan lagi.

"Masih nggak percaya?"

"Eh?" Nasya menggeleng. "Nanas percaya kok sama Zio."

"Nggak usah sok imut, Nas."

"Emang gue imut kok, ble!" Nasya menarik kedua pipi bawahnya, sehingga kulit di sekitar matanya refleks turun, mencibir Zio.

"Liat deh siapa yang narsis sekarang." Zio memutar bola mata sebal.

Perjalanan dilanjutkan dengan perdebatan-perdebatan kecil keduanya. Detik demi detik yang dilalui serasa semakin melambat saat mobil Zio berhenti di hadapan sebuah kafe ternama Jakarta, milik teman Nasya, kafe Sirius.

Started With MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang