EPILOG

464 118 92
                                    

[Dua tahun Setelahnya]

AKU masuk dengan tergesa ke sebuah ruangan ganti yang sudah dipersiapkan sebagian dari rekan kerjaku. Berbekal sebuah pakaian seragam sekolah yang masih melekat di tubuhku, aku meletakkan ransel dan beralih berganti pakaian di dalam sebuah lemari ganti.

Beberapa jam yang lalu aku baru saja melakukan perjalanan dari Indonesia menuju tempat berdiriku sekarang, negeri Swiss. Negeri yang dari dulu tidak pernah aku bayangkan bisa kukunjungi.

Pulang dari sekolahku, aku langsung menuju negera ini tanpa ingin mengganti pakaianku.

Selesai dengan atribut penampilanku, aku bergerak menuju koper dan mengeluarkan satu tape recorder yang sejak dua tahun ini tidak pernah absen memberikanku semangat.

Begitu suara seseorang yang sangat kurindukan bergema dan mengalun dari sana, aku menatap Eria—asistenku dalam urusan tata rias—untuk segera menyuruhnya merubah penampilanku.

Samar-samar, aku bisa merasakan bahwa ada keganjalan kecil yang menyandung ingatanku saat suara familiar yang sudah tidak pernah kudengar dari pemiliknya secara langsung itu melantukan lagu yang akhir-akhir ini menjadi favoritku.

Entah terkena racun dan virus seperti apa, setiap kali mendengar Rangga—si vokalis Eagle yang meninggal dua tahun lalu—sedang menyanyikan lagu Running Low serta Never Be Alone milik Shawn Mendes, aku selalu dirundung rindu berkepanjangan.

Sebagai seseorang yang pernah mencintainya, bukan salahku juga sampai saat ini masih suka memikirkan beberapa hal yang mungkin bisa saja dia lakukan denganku seandainya dia masih bersamaku sampai sekarang.

Andai memintanya kembali pada Tuhan adalah sesuatu yang mudah untuk dijalani, maka akan kusumpah dunia bahwa aku rela melakukan apa saja asal dia kembali bersamaku di sini. Melewati hari-hari beratku sebagai perempuan yang kehilangan sebagian hatinya karena kepergian seseorang yang sangat berharga kehadirannya.

Setelah dia pergi apa aku baik-baik saja?

Pertanyaan bodoh tahun berapa yang menanyakan keadaan setelah seseorang yang kau cinta pergi meninggalkanmu? Jelas si penanya sudah tahu bagaimana kondisiku. Jelas dia sudah tahu bahwa aku seperti manekin hidup yang dipaksa berjalan di atas bumi hanya agar dia bisa tenang di sana.

Aku tidak bahagia tanpa dia di sini.

Sudah berulangkali kuingatkan diriku sendiri untuk bisa menjadikan diriku sendiri alasan untuk kebahagiaanku, namun seakan menolak setiap kali meniatkannya untuk hidupku, aku didera sakit yang tak tertahankan rasanya.

Yang sering kutanyakan adalah mengapa. Mengapa cuma aku sendirian yang merasa kurang setelah perpisahan kita? Mengapa cuma aku sendirian yang berharap pada pertemuan setelah kepergian kamu dahulu kala? Mengapa cuma aku sendirian yang bertahan untuk mencintai seseorang yang bahkan hingga saat ini tidak tahu letak hati serta isinya bagaimana.

Mengapa aku bisa-bisanya jatuh cinta terus menerus pada orang yang sudah lama pergi?

Itulah yang terus menjadi alasanku untuk tetap bertahan hidup selama ini. Absennya kamu dalam hidupku membuatku menjadi kehilangan arah sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Rindu? Bolehkah aku merasakannya meski hanya untuk secuil waktu di sela-sela hidup baruku yang tak ada kamunya itu? Namun kemudian terpikir olehku, untuk apa aku rindu pada seseorang yang pergi begitu saja dari hidupku?

Untuk apa aku masih bertahan memujanya setinggi mungkin sementara dia selalu menurunkanku sedalam tanah karena ringisan sakit yang tak tertahankan ketika dia pergi meninggalkanku tahun-tahun lalu?

Started With MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang