Music (I) : Ingin Yang Diam dan Selalu Ingin Bersuara

176 112 17
                                    

[There's No Holding Me Back-Shawn Mendes]

"NGGA, aku minta maaf, tapi aku nggak sengaja bilang rencana kamu ke Nasya sama Zio. Sekarang, mereka tahu kalau kamu punya kanker."

Suara Midia yang beberapa menit lalu terdengar melalui pengeras suara ponselnya membuat Rangga yang sedang berbaring di kasur rumah sakit menghembuskan napas jengah.

Dengan cara brutal, dicabutnya paksa selang-selang infus yang membantunya tetap bertahan sampai detik ini. Jarum suntik yang sensitif segera mengoyak kulitnya. Menghadirkan darah segar yang segera keluar dari sana.

Mengumpat karena kepalanya masih terasa pusing saat berdiri, Rangga memaksakan diri untuk melepaskan berbagai perlatan rumah sakit kemudian mendekat ke sofa tempat mamanya meletakkan barang-barangnya. Diambilnya jaket yang lumayan tebal supaya tidak cepat kedinginan dan menyembunyikan kulitnya yang masih menguning efek dari penyakitnya.

Rangga tersenyum kecut ketika sadar kulitnya sudah lumayan membaik dari beberapa hari yang lalu. Sudah tidak terlalu menguning.

Selama ini, saat konser-konser diadakan, Rangga sengaja memakai pakaian yang cukup tertutup untuk menyembunyikan kulitnya. Juga penyakitnya di hadapan semua orang.

Bahkan tadi setelah selesai menghadiri konser di salah satu Universitas negeri, sekilas dia sadar bahwa mobil Zio dan Nasya memisahkan diri. Melihatnya Rangga tak urung merasa senang dan sayangnya, penyakitnya kambuh saat itu juga.

Diteleponnya Onik segera untuk meminta izin dengan memakai alasan bahwa Rangga mendapat panggilan serius dari mamanya, dan harus menjemput papanya yang pulang dari London ke bandara. Jadilah, Rangga bisa beristirahat dan mendapat pertolongan pertama di rumah sakit.

Rangga tidak sepenuhnya berbohong. Ayahnya memang akan pulang dari London setelah berkutat lama di sana dengan perusahaannya. Tetapi, Rangga tidak menjemputnya. Ayahnya sendiri yang akan datang ke kamar rawat inapnya saat tahu anaknya tidak lagi memiliki harapan lama untuk bernapas di dunia.

Namun, baru dua jam dirawat dan beristirahat tenang di rumah sakit, telepon dari Midia yang mengatakan bahwa Nasya dan Zio sudah mengetahui tentang seluruh kebohongan yang selama ini Rangga sembunyikan, membuat Rangga tidak tenang.

"Rangga?! Kamu ngapain?" Qizza yang baru saja kembali dari bandara untuk menjemput suaminya terkejut dan langsung membopong tubuh anak semata wayangnya. "Balik ke kasur kamu."

Rangga menoleh pada pria di samping mamanya, cepat, dia tersenyum. "Hai, Pa."

Orang yang disebutnya papa itu langsung mendekap erat anak laki-lakinya dengan sayang. "Maaf Papa baru bisa ke sini sekarang, banyak yang harus Papa urus di London dan akhirnya nggak bisa menemani kamu melakukan pengobatan-pengobatan."

Rangga menggeleng lemah. Energinya sudah tidak lagi ada. "Rangga ngerti kok, Pa. Papa nggak perlu minta maaf. Papa kerja keras di London buat dapatin uang banyak yang tujuannya bayar pendonor hati buat Rangga. Iya, kan?"

Erga menegang di tempatnya. "Salah satunya." Dicobanya menyelipkan rasa humor di kalimatnya, tetapi gagal.

"Rangga tau kalau uang untuk bayar hati seseorang banyak, Pak. Angka nolnya bisa lebih dari sembilan." Rangga melepas pelukan itu, lalu tersenyum lemah. "Sekarang, uang yang Papa kumpulin udah banyak, nggak perlu lagi Papa kerja di London. Papa bisa netap di Indonesia, dan uang untuk bayar pendonornya bisa Papa gunain buat tabungan masa tua Papa sama Mama. Rangga udah nggak butuh pendonornya, Rangga udah nggak ketolong."

Qizza menutup bibirnya yang terisak. "Jangan ngomong yang macam-macam, Nak. Ayo kembali ke kasur kamu, kamu butuh istirahat."

"Ma," lerai Rangga tidak berdaya. "Demi Rangga, Mama rela pisah sama Papa yang kerja di London. Rangga nggak akan tega. Sekarang, Rangga pengin Papa netap di Indonesia lagi sama Mama, buat jagain Kakek."

Started With MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang