Music (O) : Obrolan Menenangkan, Katanya

252 116 10
                                    

"BENERAN kita nggak perlu lapor ke Onik soal keadaan Rangga?"

Yos yang tadinya sedang mencoba menekan sebuah drum dengan stiknya mendapatk kendala saat Nasya bertanya. "Itu pertanyaan yang keenam puluh tiga, Sya."

Nasya tertegun. Yos benar, dirinya terlalu berlebihan.

"Lo khawatir banget sama keadaan Rangga?" Yos menurunkan stuk drumnya. "Paling dia cuman ngantuk, semalaman nggak tidur. Gue juga kalau kelamaan begadang juga gitu efeknya."

Nasya menghembuskan napas. Ia melirik Rangga yang sedang terbaring di atas sofa ruangan stadio tempat mereka berlatih. Saat ini, Yos dan Magenta sedang keluar untuk mencarikan mereka makanan.

"Katanya orang yang khawatir artinya peduli sama orang, dan yang peduli berarti sayang," celetuk Yos. Cowok itu baru saja turun dari kursi drum.

"Katanya, bukan nyatanya," balas Nasya, malas. Sekarang, Yos sudah menjelma menjadi menyebalkan seperti Magenta. "Gimana gue nggak jantungan kalau pas di parkiran hotel dia kayak orang mau modar? Sesak napas, keringatan, tapi katanya dia dingin."

Yos tertawa. "Anak kecil yang baru sekali suka-sukaan ternyata kayak lo ya, Sya."

"Apasih?" Nasya mendelik tidak suka. "Enggak ada yang suka sama Rangga. Dia itu temen gue. Konser tinggal nunggu jam, dan wajar kalau gue peduli ke dia. Emang lo nggak khawatir penggemar kecewa kalau seandianya kondisi Rangga memburuk dan nggak bisa ikutan konser?"

"Apa keliatannya Rangga terlalu selemah itu?" Yos menaikkan sebelah alisnya, membalas Nasya dengan telak. "Gue, Zio, Magenta, bersikap biasa aja karena ini Rangga, nggak mungkin tiba-tiba aja dia sakit. Gue yakin, dia cuman kurang tidur."

"Terserah deh," pupus Nasya. Dirasanya percuma menjelaskan bahwa yang ia lakukan murni karena khawatir.

"Tapi, lo beda." Yos menggeser duduknya, bersandar pada punggung sofa. "Ingat nggak waktu pertama kali Rangga diajak gabung bareng ke Eagle lagi. Kita ngobrol di halaman belakang rumahnya. Di situ, Onik udah jelas-jelas bilang kalau Zio sakit, dan lo sama sekali nggak peduli. Padahal, dia punya riwayat gejala DBD."

Nasya merasa ia disudutkan. "Akhirnya dia keliatan baik-baik aja, kan?"

Yos terkekeh, mengedikkan bahu, cowok itu mengambil beberapa kertas berisi lirik lagu yang akan dibawakannya pada konser besok. "Jangan nutupin perasaan lo sama gue. Gue ini udah lebih berpengalaman, Sya."

Nasya melotot. "Apanya yang berpengalaman? Mantan lo cuman tiga dan ketiganya yang mutusin lo. Cih, sok-sok bilang berpengalaman."

"Yang barusan dalem loh," ujarnya seperti sebuah candaan. "Tapi minimal ketiganya bukan gue yang nembak."

"Hah?" Seharusnya Nasya belajar untuk memberikan reaksi yang lebih baik. "Maksud lo bukan lo yang nembak?"

"Cewek-cewek sekarang kan kalau suka sama orang suka merhatiin dari jauh, nyari perhatian, dandan pake bedak yang tebalnya ngalahin debu di kloset, merahin bibir." Yos memutar bola matanya, mengingat tiga perempuan yang sudah membebani hidupnya terlalu menjijikkan. "Mereka jadi murah, biar bisa deketan sama orang yang disuka. Ngelupain kalau dia itu perempuan, dan udah bagiannya buat nunggu. Yah, tapi mungkin hormonnya bocor sampai-sampai berubah jadi nenek lampir yang nggak mau keliatan tua gitu. Jelas kalau tiga mantan gue ngelakuin hal yang sama."

Nasya masih tidak percaya. Mulutnya bahkan belum sempat menutup mendengar cerita Yos. "Terus lo mergokin mereka?"

"Gue ajak ke koridor sepi. Lo tau sendiri koridor sepi Wizard High kayak apa sepinya. Gue tanyain, dia suka sama gue apa enggak." Yos mengambil gelas plastik yang ada di meja ruangan. "Padahal belum tau pasti gue nembak dia, eh dianya malah ngangguk, ngaku kalau gue suka sama dia. Yah, gue cuman nggak mau aja calon-calon ibu kayak kalian ngerusak generasi yang akan datang. Dia ajakin pacaran."

Started With MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang