(Jason Lee's POV)Aku mengajak Alcander ke tempat aku memesan senjata. Ia cukup senang saat tahu dirinya akan pergi keluar rumah.
"Berjanjilah anda tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu. Anda baru sembuh," ujarku memperingatkan. Alcander hanya mengangguk asal--yang bisa kutebak kalau ia tak sepenuhnya mendengarkanku.
Besok pagi Alcander akan terbang ke Jepang, itu sedikit membuatku lega. Setidaknya ada Jiro yang menemaninya. Kalau tidak begitu, aku pasti akan selalu cemas memikirkan keadaannya, dan kehilangan konsentrasi.
"Kau benar-benar yakin menyuruhku pergi ke Jepang besok?" tanyanya.
Aku mengangguk mantap, membuatnya langsung membuang muka dengan kesal.
Kami tak banyak bicara; Alcander lebih benyak bersenandung pelan, mengikuti irama musik yang dinyalakan didalam mobil.Aku menghembuskan napas lega. Keadaan Alcander semakin membaik. Yang masih membuatku sedikit cemas adalah bekas lukanya. Mungkin dengan melakukan operasi atau laser bisa menghilangkan bekas itu.
Mobil tanpa sadar sudah berhenti ditempat tujuan. Bersama yang lain, aku keluar dari mobil setelah menyuruh Alcander dan beberapa anak buah untuk tetap berada didalam mobil--berusaha membujuk Alcander untuk tinggal sebentar saja. Alcander menurut dan kembali bersenandung.
Tempat itu berupa minimarket yang saat ini terlihat sepi. Aku dan beberapa anak buahku masuk ke dalamnya. Kami sengaja tidak mengenakan pakaian formal dan memilih bergaya kasual untuk menyesuaikan tempatnya.
"Januari." Ujarku pada kasirnya.
Kasir itu menatapku untuk beberapa saat sebelum mengangguk dan menekan sesuatu dari bawah meja. Ia menunjuk ke pintu khusus staff, memberikan kami sepucuk kertas kecil bertuliskan nomer, sebuah kunci kecil, dan kami langsung masuk ke dalamnya.
Ruangan khusus staff itu tidak begitu luas, dan terlihat seperti ruangan staff pada umumnya.
Aku kembali melihat isi kertas itu. Di kertas itu bertuliskan angka 110 dengan huruf yang kecil sekali. Kami semua memperhatikan sekeliling ruangan ini dengan seksama. Berusaha melihat apakah ada nomer 110 di sana, sebelum berpikir yang lain.
"Ah! Ini dia!" bisik salah satu anak buahku keras sembari menunjuk ke salah satu deretan loker berwarna hitam. Mereka mengumpul di sisi kanan dan kiri sebuah loker yang berukuran sedikit lebih besar dari loker pada umumnya. Disalah satu loker itu bertuliskan '110'. Hampir kami terkecoh karena angka itu terlihat samar karena pelat angkanya yang terbuat dari besi sudah begitu berkarat.
Aku mengangguk memberikan kode pada anak buahku, dan mereka dengan sikap waspada menyingkir dari pintu loker itu. Aku menyerahkan kunci kecil itu padanya, dan mereka langsung berusaha untuk membuka pintu itu. Kami menemukan kesulitan untuk membuka pintu, dan setelah beberapa menit; ternyata kunci itu diputar terbalik dari arah jarum jam untuk terbuka, berbeda dengan kenop kunci pada umumnya.
Pintu itu akhirnya terbuka. Sebuah lorong sempit yang berukuran sama dengan loker terpampang. Kami--yang rata-rata bertubuh tinggi, harus sedikit membungkuk dan menyerongkan tubuh saat berjalan didalam lorong itu sembari melangkah dengan hati-hati.
Semakin dalam kami berjalan di dalam lorong itu, semakin tinggi dinding atasnya. Kami kini berjalan cukup cepat, dan akhirnya sampai pada sebuah ruangan remang yang cukup dingin. Di dalamnya terdapat kotak-kotak hitam besar yang ditumpuk rapi didekat dinding.
Ruangan itu sangat luas; tidak begitu terlihat seperti gudang penyimpanan senjata, kecuali keanehan tempatnya.
"Tuan Jason!" Sebuah suara terdengar dan orang yang kami cari muncul dari sebuah pintu di dalam ruangan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Contract
FantezieWarning: Cerita ini mengandung unsur 18+++ (homoseksual, seks, mpreg(?)) dan juga penggunaan bahasa yang kasar, sangat vulgar, dan detil. Mohon bijak dalam memilih bacaan yang sesuai dgn umur! Sinopsis Alcander Grey, seorang bos mafia yang menutup...