XXII. INVADE

11.8K 561 113
                                    


(Alcander's POV)

"Kau yakin tidak ingin tinggal bersamaku?" Jiro menatapku dengan mata membesar. Aku mengangguk,

"Tidak untuk hari ini. Mungkin kalau kau tak keberatan lusa.. Lusa aku akan menginap di tempatmu." Jiro terkekeh,

"Kau takut bertemu dengan ayahku, ya? Tenang saja.. Dia tidak akan mengganggu teman bisnisku. Dia sudah tahu bahwa kau akan datang, dan tahu tidak? Matanya berbinar hijau saat mendengar kau adalah seorang miliarder!" Jiro tertawa geli saat mengingatnya.

Aku mendengarnya hanya tertawa pelan sembari menggelengkan kepala,
"Dia sudah tidak sabar ingin bekerjasama denganmu," ujarnya.

"Kalau begitu.. kurasa tidak ada gunanya aku menginap di hotel," ujarku bergurau sembari terkekeh pelan. Jiro mengangguk semangat,

"Ya tentu saja, dasar Al payah! Untuk apa juga kau menyewa hotel; sementara kau punya sahabat yang memiliki rumah sangaaaattt besaaaaar di sini?" Tangan Jiro terentang, menunjukkan seberapa besar rumahnya--membuat wajahku terpukul dengan sukses.

"Eh, maaf!" Jiro menjulurkan lidahnya sembari memasang ekspresi lucu. Tak kuasa, aku tertawa terbahak-bahak bersamanya.

===

"Jiro... Memangnya tidak boleh ya, pakai baju yang biasa saja?" tanyaku gelisah. Jiro menggeleng keras,

"Salah satu peraturan di rumah ini adalah; tamu harus senantiasa mengenakan kimono, sama seperti aku, ayah dan ibu. Sekarang, cepat buka bajumu!" Aku menggeleng,

"Aku tidak tahu cara memakai kimono! Sudahlah, aku akan pakai ini saja.."

Jiro mendecak kesal dan mulai membuka paksa bajuku;
melemparnya di sudut ruangan dan menyampirkan kain kimono berwarna biru tua polos.

Aku memasukkan kedua lenganku di bagian lengan kain yang lebar. Jiro mengikatkan dua tali diujung kain setelah memastikan bahwa kain itu tidak terlalu longgar, kemudian mengikatkan sabuk berwarna krem.

"Nah sudah selesai!" Jiro bergerak mundur dan mengganti pakaiannya sendiri dengan kimono berwarna coklat tua. Aku bergerak dengan sangat tidak nyaman.

"Ng.. Jiro.. Bisakah aku melepas kimono ini dulu, dan memakai sesuatu. Aku merasa seperti... terbuka.." Aku mengeryit mengingat aku hanya mengenakan celana dalamku saja dibalik kimono ini. Jiro menoleh sembari menahan tawa,

"Astaga, Al!" Akhirnya tawa itu lepas juga. Jiro menunjuk diriku dengan geli sembari memegangi perutnya.

"Apa-apaan cara berdirimu itu..?" tanyanya disela tawanya. Aku menunduk, menatap kakiku.

Aku berdiri dengan kedua paha menempel rapat--takut jika kain itu akan tersingkap.

"Kau berdiri seperti anak gadis!" lanjutnya. Aku menatap Jiro kesal, dan membenarkan cara berdiriku.

"Aku hanya merasa tidak nyaman!" ujarku membela diri. Jiro mengangguk asal sembari menghapus setitik air mata yang muncul sembari terus tertawa.

"Bisa tidak sih, kau hentikan tawamu?!" seruku kesal. Jiro berusaha menghentikan tawanya dengan menarik napas panjang, lalu menghembuskannya.

"Iya-iya.. Maaf.." ujarnya susah payah. "Kau akan terbiasa nantinya," Ia menepuk pundakku gemas dan menarikku keluar kamarnya.

"Kita mau ke mana?" tanyaku sembari mengikuti langkah Jiro dibelakangnya. Jiro menoleh dengan wajah sedikit cemberut,

"Kita mau bertemu ayah dan ibuku, plus kita akan makan malam." Aku mengangguk mengerti.

Rasa penasaran tiba-tiba muncul akan bagaimana rupa kedua orang tua Jiro. Jiro terlahir dengan tampang yang sangat-sangat menarik, jadi wajar saja kalau aku penasaran.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang