XIV. DIFFERENT SIDE

11K 571 36
                                        


(Ignatius's POV)

Aku terbangun ketika handphoneku berdering. Aku menyambarnya dan menemukan bahwa yang meneleponku tidak tercantum nomornya. Dengan mata masih setengah terpejam, aku langsung me-reject-nya lalu kembali tidur, memeluk tubuh Alcander yang hangat. Namun saat ingin kembali tidur, handphone itu kembali berdering. Merasakan Alcander mulai bergerak dari posisinya, aku langsung mengangkat telepon itu dan bangun dari ranjang dengan gerakan perlahan menuju balkon.

"Siapa ini?" tanyaku setengah membentak. Matahari sudah kembali bersinar dan aku bisa mendengar suara-suara berisik aktivitas orang-orang di hari Sabtu ini.

"--Tinggalkan Alcander. Lepaskan dia dari ikatanmu. Aku yakin, kau sendiri menyadari bahwa Alcander bisa terus hidup normal jika kau tidak selalu di sampingnya. Kumohon, sebelum mereka datang untuk membunuhnya juga.."

"Aku tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya kau bicarakan." Aku mengeryitkan dahi. Suara itu terdengar familiar ditelingaku, namun aku merasa harus menyangkal pikiranku sendiri.

"Kau sangat paham dan sangat mengerti dengan apa yang kau lakukan sekarang. Dan kau juga pasti mengerti jika aku akan merebut Alcander darimu. Aku tidak ingin Alcander semakin terjerumus dalam kegelapan."

"Hentikan omong kosongmu! Aku tidak akan menyerahkannya pada siapapun. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun merebutnya dariku!" seruku tertahan. Aku melirik kearah Alcander yang ternyata masih terlelap, lalu menghela napas lega.

"Sebaiknya mulai sekarang kau bersiap. Karena aku tidak akan bermurah hati untuk kedua kalinya, Aésma."

Aku tertegun, mematikan sambungan telepon dan tanpa sadar--meremasnya. Jantungku berdegup kencang, detakan yang cepat dan menggebu--rasa yang sama seperti ketika keinginan untuk membunuh itu datang.

Aku yakin aku tahu siapa orang itu, orang yang meneleponku. Tidak ada yang mengetahui nama itu selain dia. Dan kali ini aku tidak akan kalah darinya, mengingat orang itu sudah lama tiada. Tidak ada lagi yang bisa memerintahku, selain diriku sendiri. Kali ini aku akan melindungi kebebasanku. Aku harus melindunginya.

"Ignatius?" suara lirih Alcander terdengar dari dalam kamar. Aku berbalik dan menyusulnya. Alcander sudah bangun dan duduk di atas ranjangnya, dengan piyama yang berantakan, rambut berdiri, serta matanya yang masih setengah terpejam. Ia menguap beberapa kali sebelum akhirnya ia berusaha untuk membuka lebar matanya agar bisa melihatku.

"Bagaimana tidurmu?" tanyaku. Alcander mengangguk dengan matanya yang masih menerjap-nerjap,

"Yup. Nyenyak sekali." jawabnya sembari tersenyum. "Jam berapa sekarang?" tanyanya. Aku menoleh untuk melihatnya dihandphoneku,

"Jam 09.45. Baguslah kalau tidurmu nyenyak," ujarku lalu duduk di seberang ranjang. Mataku mengikuti langkah Alcander yang berjalan menuju kamar mandi. Setelah Alcander menghilang dari balik pintu aku kembali memikirkan siapa orang yang meneleponku tadi.

Aku menghela napas panjang, berusaha untuk tidak memikirkannya. Alcander kini mulai membuka hatinya padaku, dan aku tahu orang itu pasti akan memburunya suatu saat nanti. Tapi.....

"Kau sedang memikirkan apa?" suara Alcander mengagetkanku. Ia berbicara disela kegiatannya menyikat gigi. Tubuhnya bersender pada kusen pintu yang terbuka, menatapku dengan sebelah alis terangkat tinggi.

"Tidak ada yang kupikirkan," jawabku sembari mengangkat bahu. Alcander membuat gerakan tangan agar aku mendekat. Dengan segera aku menyusulnya,

"Kau bisa memakai sikat gigiku yang masih baru," ia menunjuk kearah keranjang persediaan perlengkapan mandi miliknya, "Pakai saja," tambahnya. Aku mengangguk dan mengikutinya menyikat gigi. Setelah itu aku mengatakan padanya kalau aku akan mandi terlebih dulu.

The ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang