Reykjavík

700 55 9
                                    

Setelah kejadian itu, kejadian yang benar benar membuatku tidak bisa mempercayainya sama sekali. Kejadian yang membuat benar-benar membuat dugaanku semakin kuat tentangnya. Dugaan. Dugaan yang bahkan diriku sendiri tidak bisa mengakuinya.

                              ***

Aku menghela nafasku panjang saat menandatangani sebuah lembaran kertas. Hari ini, setelah sekian lama aku mengambil cuti, aku kembali dengan rutinitas sehari-hari ku. Yah, kembali berurusan dengan safety, cockpit, dan juga training. Aku melangkahkan kakiku kearah ruang tunggu awak kabin untuk menunggu penerbangan internasional. Hari ini, aku mendapat rute penerbangan ke Islandia, Reykjavík.

Betapa menakjubkan nya hari ini! Aku mendapatkan rute ke sebuah negara es.

Aku memutar knop pintu. Sorot mataku tak menangkap seseorang yang tengah duduk atau tengah berdiri diruangan ini. Masih sepi, pikirku. Aku memasuki ruangan ini dan kemudian mencari salah satu sofa yang mempunyai view langsung ke apron. Aku mendudukkan diriku kesebuah sofa berwarna merah ini, dan kemudian mengambil lembaran checklist dari saku celana ku.

"Sudah datang lebih dulu? Tumben," Saat aku baru saja membuka lembaran kedua,tiba-tiba saja seseorang menegurku. Aku sedikit terlonjak, dan kemudian mengalihkan pandanganku kearah sumber suara. Aku menghela nafasku lega.
"Ternyata kau..," Ucapku sedikit merasa lega. Junkai –orang yang baru saja tiba– perlahan menutup pintu dan berjalan kearahku. Ia duduk disebuah sofa yang tak jauh dari tempat sofaku berada.

"Tumben kau datang cepat," Ucap Junkai tak menoleh kearahku. Ia tetap fokus memainkan gadget-nya. Aku hanya melirik kearahnya.
"Aku hanya rindu ingin kembali terbang. Tak ada hal yang salah, kan?" Ucapku. "Nah, kau. Tumben sekali datang terlambat. Biasanya kau paling datang paling cepat," Aku terkekeh meremehkan saat menyambung perkataanku. Junkai hanya mendengus.
"Seharusnya, kau tak perlu tahu apapun tentangku, 'kan?" Tegasnya dingin.

Wang Junkai... Dia mengesalkan sekali!

Aku hanya melihat kearahnya dengan pandangan sangat kesal. Sedangkan dia? Ia hanya tetap cuek seperti tidak peduli dengan apapun. Ia tetap menggeser layar smartphone-nya.

Aku mendengar suara deruman pesawat yang siap melakukan take-offAku langsung mengalihkan pandanganku kearah kaca besar itu dan kemudian mengulas sebuah senyuman menatap pesawat itu sudah ingin menembus angkasa.

Tiba-tiba, terdengar suara sebuah pintu terbuka.

Para kru yang lain, yang bertugas terbang dengan rute yang sama denganku, mulai memasuki ruangan.

"Selamat datang kembali" Chengxin tersenyum kearahku. Aku menoleh kearah Chengxin. Aku membalas senyumannya dengan senyuman lebar.
"Terimakasih, Cheng" Ucapku senang.
.
.
.
.
.
.

ICELAND, Reykjavík, 4.00 PM.

Aku menuruni pesawat. Aku mempererat mantel tebal yang sengaja diberikan saat berada diruang tunggu kru di bandara Chongqing. Walaupun sudah memakai mantel yang sangat tebal, tetap saja suhu dingin berminus khas negara ini tetap menusuk tulang-tulangku. Tak salah jika presiden pertama negara ini menamakan nama negara ini "Iceland".

AviamateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang