[41]

3.3K 154 9
                                    

Empat puluh satu - turnamen
pt.3 dan konsekuensi

[Edited]

Hari ini adalah pertandingan ketiga Dwinus di turnamen futsal SMA se-DKI. Sebelumnya, Dwinus menang telak dengan skor 5-2 dari SMK 13 Jakarta. Bedanya, lawan futsal Dwinus kali ini adalah Jaya Baya sang musuh bebuyutan. Zian berkali-kali mengembuskan napasnya gusar, ia jadi tidak semangat kali ini. Pikirannya melayang kemana-mana dari soal Nadine, Karina ataupun Ibunya yang sedang di Bogor seperti biasa.

Di ambilnya ponsel dari dalam saku dan ia mulai mengetikkan pesan disana.

Aku tanding bu, doain ya.

Hanya pesan ke Ibunya, disaat ia sedang berjaga jarak dengan Karina akibat kejadian beberapa waktu lalu. Ibunya lah yang paling Zian harapkan untuk ada disini saat ini.

Peluit babak pertama baru di bunyikan, penonton bersorak dan suara riuh rendah datang dari suporter tim lawan yang tujuannya membuat mental tim futsal Dwinus lemah.

Zian dan teman-temannya tidak begitu menghiraukan, ia harus fokus dalam pertandingan ini terlebih lawannya adalah tim curang seperti Jaya Baya. Kalau mau menang ya konsentrasi penuh, pada satu fokus.

Beberapa kali Zian mencuri pandang ke arah penonton, mencari-cari gadis berkacamata yang hobi membaca novel namun ia tidak bisa menangkap kehadiran gadisnya. Fokus Zian terpecah, pikirannya kembali di ambil oleh beberapa hal yang sudah dua malam ini ia pikirkan.

Sialnya, Zian tidak bisa menghindari tackling salah satu pemain Jaya Baya sehingga ia terjatuh begitu saja di lapangan. Untungnya, tidak ada cedera yang di dapat Zian karena kecurangan dari lawan mainnya.

Namun sayang, cedera itu ternyata ada di hatinya.

Skor masih imbang satu sama saat babak pertama usai. Zian dan yang lain keluar dari lapangan dan menghampiri Pak Guntur yang sepertinya sudah siap untuk memarahi mereka. Dengan enggan, Zian duduk di samping Wahyu yang wajahnya sama kacau seperti dirinya. Bukan apa-apa, Wahyu adalah orang yang paling berat memikul beban di team ini karena ia adalah ketua ekskul futsal, mau tidak mau.

"Kalian ini mainnya payah, beberapa kali kehilangan peluang bagus."

Pak Guntur berkacak pinggang, memperhatikan satu persatu wajah anak asuhnya yang bercucuran keringat. Tidak peduli mereka sudah bernapas normal atau belum tapi Pak Guntur punya banyak alasan untuk marah.

"Kamu juga Mandala, jadi kiper refleksnya kurang banget hari ini. Bola ke kiri kamu malah ke kanan," dan Mandala hanya bisa menarik napas lalu menunduk lagi, enggan berdebat. Mungkin kalau Mandala mau, ia akan mengajak adu mulut Pak Guntur tapi ia rasa itu kurang tepat.

"Kalau lawan nyerang tolong dong pertahanannya di rapatkan, jangan sampai ada celah. Jangan hanya fokus dengan yang membawa bola saja," Pak Guntur masih berkacak pinggang, kali ini tatapannya beralih ke Zian.

"Zian, kamu kenapa? Saya lihat kamu curi pandang ke penonton terus sampe gak sadar di tackle gitu. Cari siapa kamu disana?" bentak Pak Guntur sambil tangannya menunjuk ke arah penonton yang masih berdiri di sisi lapangan.

Pak Guntur sebenarnya adalah guru yang baik namun di saat seperti ini dia bisa lebih galak dari Pak Martin, guru Fisika di Dwinus. Mungkin juga, Pak Guntur lagi banyak fikiran atau karena memang pertandingan dengan Jaya Baya ini krusial. Kepsek menaruh harapan besar di pundak Pak Guntur.

"Maaf, Pak," ucap Zian terbata, bagaimanapun juga ia merasa bersalah.

"Jangan minta maaf, buktikan!"

Stronger [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang