[64]

3.8K 181 22
                                    

Enam puluh empat - mengawang

[Edited]

“Lo tuh ya, kebiasaan. Goblok!”

Umpatan demi umpatan keluar dari mulut Iksan. Lelaki itu memandang Zian kesal. Iksan kira, sahabatnya tidak sebodoh yang ia pikirkan namun ternyata salah.

Mereka berdua sedang di balkon kamar Zian, rumahnya masih sepi. Myra baru akan pulang ke Jakarta dua minggu lagi sementara Mbok Isah masih betah di kampungnya. Sejauh ini, Zian tidak mempermasalahkan hal itu.

Iksan mengunyah keripik kentang sambil berbicara, “Gue kira abis dari Bandung lo sama dia bakal jadian,” lelaki yang sering membanyol itu menjeda kalimatnya sebentar. Ia mengambil kaleng soda di dekat Zian, meneguk isinya hingga tinggal sedikit lalu melanjutkan omongan lagi, “Kalo kelamaan di diemin, gue embat juga nih si Karina.”

Zian melotot, lelaki berhidung mancung itu meraih kaleng soda kosong miliknya dan melemparkan benda tersebut ke arah sahabat karibnya namun meleset. Iksan tertawa terbahak-bahak sebagai balasan.

“Gue gak ngerti lagi dah ama lo. Sebegitu tololnya ngadepin sesuatu yang bernama cinta?” celoteh Iksan dengan penekanan di akhir kalimatnya.

Lelaki yang menjadi lawan bicara Iksan hanya bisa diam, memainkan ujung kaosnya. Belakangan ini, pikirannya hanya di penuhi oleh Karina dan Nadine. Selama Atta belum pulang, Nadine masih menjadi tanggungannya.

Ada satu hal yang membuat Zian tidak bisa begitu saja melepas kekasih Atta tersebut; ia pernah tidur dengan gadis yang bernama lengkap Nadine Agatha itu.

Toples kaca yang sejak tadi di pegang Iksan sudah kosong, menandakan bahwa ia sudah menghabiskan keripik kentangnya. Iksan menyimpan toples tersebut di atas nakas lalu membersihkan jemarinya.

Di detik selanjutnya, Iksan sudah mengeluarkan suara lagi, “Cewek jangan kelamaan di gantung, Nyuk. Kasian.”

Zian menahan napas, apa yang di bilang oleh Iksan adalah 100 persen benar. Ia sudah lama sekali menggantungkan hubungannya dengan Karina. Meskipun Karina bilang, ia baru akan menjawab kalau Atta sudah kembali ke Jakarta tapi  tetap saja kalau Zian hanya berdiam diri seperti ini, tidak akan ada yang berubah sampai kapanpun.

Kemungkinan terbesar, Karina akan perlahan menghapus perasaannya terhadap Zian. It’s a big deal.

Gerah, akhirnya Zian bersuara. “Atta malah ilang kabar, San. Ini udah lewat bulan ke lima,” Zian mengusap wajahnya kasar, “gue cuman takut kalo Atta gak akan balik kesini dan tanggung jawab.”

Refleks, Iksan yang berdiri tak jauh dari Zian lantas menoyor kepala sahabatnya itu. Dengan seringaian di wajah, Iksan membalas perkataan lelaki di sampingnya. “You gave up. Didn’t you?”

Zian memijit pelipisnya kemudian berdecak, “Enak aja. I will never give up. Note it!” Dan Iksan langsung menanggapi omongan Zian barusan, “Then do something to proof it.

Iksan menekan tombol power di ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang. 11.30 PM. Dengan sigap, lelaki yang memakai celana pendek itu membereskan sisa makanan dan minuman. Ia melangkah menuju dapur dan meninggalkan Zian yang masih melamun di balkon.

Tidak sampai 5 menit, Iksan sudah kembali ke dalam kamar Zian dengan membawa dua gelas susu di tangan. Sahabat yang baik, kan?

Iya, Iksan memutuskan untuk menginap lagi di rumah Zian malam ini.

“Udah Nyet, gak usah overthinking. Lo mending tidur deh, minum cucu dulu nih udah eke bikinin. Besok kan sekolah juga. Jangan ampe kita kesiangan, pelajaran pertama besok kan, Pak Jendri.”

Stronger [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang