[24]

3K 183 2
                                    

Dua puluh empat - panik

[Edited]

Karina sudah di parkiran bersama Lukas, kali ini ia harus menolak ajakan Lukas untuk pulang bersama karena ia harus menjemput Bagas terlebih dahulu. Tidak mungkin ia mengajak Lukas untuk menjemput Bagas dengan motor ninjanya itu.

Sebenarnya bisa saja Lukas pulang terlebih dahulu untuk meminjam mobil Ayahnya namun Karina tidak mau merepotkan. Secara tidak langsung, Karina teringat hal yang hampir sama yang di lakukan oleh Zian beberapa waktu lalu.

Lukas masih memaksa untuk mengantarkan Karina ke sekolah Bagas, ia tidak mau kekasihnya itu berpanas-panasan naik angkutan umum atau gojek, misalnya.

Karina lebih memilih jalan tengah, ia mengiyakan tawaran Lukas yang ingin mengantarnya sampai sekolah Bagas dan sampai sana Karina dan Bagas akan pulang menggunakan taksi. Lukas juga sempat bilang kalau besok ia akan meminjam mobil Ayahnya supaya bisa ikut menjemput Bagas tapi Karina menolaknya secara halus. Lagi, gadis itu hanya tidak mau merepotkan.

Rumah Karina terasa sangat sepi karena hanya ada dia, Bagas dan Bi Inem saat ini. Bagas sempat mengeluh pusing sepulang sekolah tadi dan Karina berinisiatif untuk membuatkan bubur untuk adik tercintanya itu. Ini masih hari Jumat dan Mamanya baru pulang minggu pagi dari Cirebon.

Karina kembali memeriksa keadaan Bagas yang sedang terbaring di kamarnya, badan adik lelaki satu-satunya itu memang agak panas.

Dengan sabar, Karina menyuapi Bagas yang saat ini bersandar di ujung kasurnya sambil menonton tv. Untungnya, besok Bagas libur sekolah jadi ia tidak perlu khawatir dengan keadaan adiknya ketika sedang sakit seperti ini.

Bi Inem masuk kedalam kamar Bagas lalu memberikan beberapa obat dan satu gelas teh hangat. Wanita berumur lebih dari lima puluh tahun itu izin untuk beristirahat di kamarnya.

Bagas tidak menghabiskan buburnya, ia merasa lidahnya tidak enak untuk makan dan tentu membuat Karina khawatir.

"Ga, abisin dong buburnya." Karina mengusap rambut Bagas dan adiknya itu hanya menggeleng.

"Sedikit lagi deh, Kakak udah capek bikin loh." Karina melihat kearah jam bundar di dinding kamar, menunjukkan angka 9.

"Enggak mau kak Arin, Aga mau tidur aja." Ucap Bagas manja, panggilan Bagas di rumah memang Aga.

Karina menaruh mangkuk buburnya di atas meja belajar Bagas, gadis yang sekarang lebih memilih untuk memakai softlens di bandingkan kacamata itu menyuruh adiknya untuk meminum obat dan menggosok gigi lebih dulu sebelum tidur.

Karina menemani Bagas ke kamar mandi yang ada di lantai dua dan selalu merengkuh tubuh adik kecilnya itu.

Karina masih di kamar Bagas, menyelimuti adiknya namun Bagas tidak mau kalau Karina tidur disebelahnya dan Bagas selalu berusaha untuk menjadi anak mandiri. Bagas cuma mau tidur dengan Zian, bahkan Mamanya saja tidak diperbolehkan untuk tidur dikamar Bagas. Paling sesekali, ketika sifat manja Bagas datang ia akan memilih tidur di kamar Mamanya.

**

Karina memilih untuk tidur di kamar Mamanya karena ia bisa dengan leluasa mengawasi Bagas. Tidak mungkin ia membiarkan Bagas tidur sendirian di lantai dua sementara ia dan Bi Inem tidur di lantai satu.

Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, Karina sudah tidur nyenyak sambil memeluk bantal guling berwarna merah di kasur Mamanya. Menurut Karina, tidur adalah satu-satunya hal paling menyenangkan di dunia ini. Dengan tidur, ia bisa melupakan semua masalahnya sekejap dan dengan tidur ia bisa mengistirahatkan pikiran kacaunya.

"Mama, pusing Ma, disini panas. Ma, tolongin Aga," teriakan-teriakan dari kamar sebelah membangunkan Karina, ia langsung bangun dari kasur sambil mengerjapkan mata berkali-kali. Ia hanya tidak mau ada hal buruk yang terjadi pada adik satu-satunya.

Kamar Bagas sudah terbuka dan Karina menemukan Bi Inem yang berdiri panik di samping kasur Bagas. Wajah Bagas basah, bukan basah yang berasal dari keringat melainkan basah dari airmata. Ya, adik kecilnya menangis seperti habis mimpi buruk.

Karina langsung mendaratkan punggung tangannya di dahi Bagas, mendapati suhu tubuh adiknya yang luar biasa tinggi.

"Aga, bangun Aga. Kak Arin disini."

Karina menepuk pipi Bagas pelan dan tak lama adiknya membuka mata. Tubuhnya menggigil, giginya bergemetuk bahkan Bagas seperti tidak sanggup untuk membuka mata.

"Kak, dingin," ucapan Bagas berhasil membuat Karina berpuluh-puluh kali lipat lebih panik, ia tidak bisa berpikir dalam keadaan seperti ini. Tidak mungkin ada taksi yang berkeliaran tengah malam dan jarang sekali layanan taksi online yang menerima order jam segini.

Tidak mungkin rasanya kalau ia menghubungi Pandu. Selain rumah Pandu sangat jauh dari sini, Karina merupakan orang yang tidak ingin merepotkan.

Karina duduk disebelah adiknya, memeluk adiknya sangat erat berharap kalau itu membuatnya lebih baik. Bi Inem turun ke dapur untuk mengambil kompresan, air hangat dan mungkin mencoba menghubungi dokter langganan Rika yang bisa di panggil ke rumah 1x24 jam atau mungkin menghubungi siapapun yg ada di daftar kontaknya.






Hi, komentarnya dong :-)

Stronger [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang