11

26 2 0
                                    

Seminggu lamanya aku dikurung didalam kamar. Tak sedetikpun aku berpikir untuk keluar dari kamar itu. Aku taat hukuman bahkan tak makan masakan bi ijah selama seminggu. Tentu itu bukanlah alasan pertamaku, melainkan aku tak mau melihat wajah ayah yang menyebalkan dengan peraganya yang seperti milyarder menambah tinggi imejnya. Aku berkutat didalam kamarku yang luas dengan cemilan yang banyak. Hal itu sudah biasa aku lakukan.
Untuk membuat orang mengerti, terkadang seseorang harus rela menyakiti dirinya sendiri. Hanya begitu juga lah aku bisa membuat ayah mengerti *terkadang.

Tiba-tiba Ayah membuka pintu dengan kasar. Mungkin karena aku tak kunjung membuka pintu setelah beberapa kali ayah mengetuk dan memanggil namaku. Aku masih saja terduduk disini. Tempatku semula dengan seragam yang masih sama seperti saat hari pertama aku tak dibiarkan kesekolah satu minggu yang lalu. Aku membiarkan pintu terdobrak hingga ayah muncul dari balik pintu tanpa perlawanan sedikitpun.
Sudah ku bilang, aku taat hukuman meskipun aku tidak salah. Karena aku tau untuk hal tertentu orang-orang bahkan merelakan dirinya ditempatkan ditempat yang rendah, serendah-rendahnya demi mendapatkan pembalasan dengan klimaks yang memuaskan.

2 orang bodyguard dibelakang ayah yang telah merusak pintu kamarku berdiri tegak dengan badan yang kekar. Penampakan itu sudah biasa bagiku. Tapi... Pagi ini aku sama sekali tak mengalihkan pandanganku dari sebuah cermin yang pecah karena ulah ku sendiri. Masih saja menatap diriku yang bernasib malang dengan mata sayu, kelopak yang menghitam dan badan yang mulai kurus bahkan tak terawat saat ini.

Kamar berantakan, satu dua sampah cemilan berserakan dimana-mana, kertas berhamburan ditempat tidur, laptop kubiarkan tergeletak dilantai layaknya sengaja kulemparkan mengarah ke pintu kamar. Aku memang sengaja melemparnya untuk memberi isyarat pada bi ijah agar meninggalkan ku sendirian. Gorden kamar berjatuhan, rambut acak-acakan, belum lagi pecahan kaca yang berserakan dilantai kamar. Kubuat Kamar ini benar-benar hancur.

"Ada apa ini vanila? Ayah hanya menyuruhmu untuk tidak kesekolah bukan untuk mogok makan atau merusak kamarmu." Kata ayah kemudian duduk dihadapan ku.

Aku masih saja memandang kearah cermin yang pecah itu meskipun badan ayah telah menghalangi sebagian pandanganku menuju cermin itu. Masih saja dengan tatapan yang kosong.

"Vanila.. Ayo sarapan bersama ayah! Kau tidak diHukum kali ini. Ayo turun!" ajak ayah meraih tanganku.

Aku masih tetap pada posisiku meskipun ayah sudah menarik-narik tanganku sejak tadi.

"Vanila.." Seru ayah sekali lagi. Mungkin ia Merasa heran dengan sikap ku.

Ayah kemudian berbalik melihat sebuah cermin yang telah pecah. Apa yang menarik dari cermin pecah itu sehingga aku tak mau berhenti memandangnya?. Pasti itu yang ada dipikiran ayah.

"Bagaimana karirku ayah? Apakah sudah baik? Atau malah bertambah buruk? Bukankah ayah sedang sibuk memperbaiki semuanya? Apa yang ayah lakukan disini? Memanggil hewan pencari uang ayah untuk makan? Mengapa? Agar ia sehat? Atau sengaja lagi ingin membentaknya didepan karyawan-karyawan ayah? Apa ayah masih punya hati? Apa ayah ta---"

"CUKUP VANILA!". "Ayah hanya ingin melihatmu baik dimata semua orang. Apa ayah salah?". kalimat ayah memotong kalimat ku saat mengalihkan pandangan ayah yang berusaha meraih handphone-ku dari meja.

Aku  menggeleng. "Tentu saja tidak. Ayah tidak pernah salah. Bukan begitu?"

Ayah terdiam sejenak terlihat cemas bahkan memikirkan sesuatu.

"Besok kau boleh kesekolah. Lakukan apa yang kau inginkan. Jika kau tak ingin pulang sekalipun, maka jangan pulang. Mulai sekarang ayah tak akan mengusik hidupmu. Anggap saja ayah sudah tak ada dan kau tinggal sendirian. Seperti itukan yang kau inginkan? Ayah akan pergi jauh dari sini. Kau tenang saja vanila ayah akan tinggal dan menetap diluar negeri."

Aku hanya tersenyum sinis mendengar ayah berkata seperti itu. Aku sama sekali tak peduli sekalipun ayahku pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Itu hanyalah kata-katanya saja. Ayahku tak akan pergi kemanapun dan kalaupun benar dia akan pergi, itu tak masalah bagiku.

"Ayah pikir aku akan peduli? Berapa ribu kali ayah mengatakan hal yang sama bahwa akan pergi tapi nyatanya? Ayah masih saja kembali. Padahal ayah sendiri tau bahwa aku tak menginginkan ayah disini. Aku hanya ingin ibu. Bukan yang lain!"

"Ibu... Ibu... Selalu saja ibumu. Sadar vanila! Ibumu telah meninggal! Kau harus bisa melupakannya. Hidupmu masih berlanjut kau bukan ibumu yang telah mati--"

"Lupa? Semudah itu ayah?"
Sekarang kami malah beradu mulut. Aku bahkan kehilangan kesopanan yang selama ini ayah dan ibu ajarkan padaku. Aku keras kepala karena ayah mewariskanku sifat itu. Jadi jangan salahkan aku jika aku bertingkah seperti ini.

"Maaf tuan. Mobil sudah siap berangkat." Ujar pak suryo supir pribadi ayah menyela diantara percakapan kami yang mulai menegang.

"Ayah akan pergi. Sekarang lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tak ada lagi ayah yang tak kau inginkan ini. Ayah harap kau bisa memulai hidupmu yang baru. Hidup dimana tak ada lagi ruang untuk ayah hanya kau bersana dengan kenangan ibumu. Satu hal yang kamu perlu tau vanila, ayah menyayangi ibumu lebih dari apa yang kau kira. Ayah bukan suami yang buru vanila. Ayah sudah berusaha keras untuk membuat ibumu tetap hidup. Tetapi mungkin ayah adalah ayah yang buruk bagimu. Ayah selalu menyayangimu vanila. Mulai sekarang, Jaga kesehatanmu!" Kalimat ayah meninggalkanku yang kini terdiam menatapnya.

Ayah kemudian beranjak pergi meninggalkan kamarku, rumah kami, bahkan negara yang telah lama menjadi negara kami. Aku telah mengusir ayahku sendiri secara tidak langsung.

Awan gelap, gerimis, mengawali perjalanan panjang ayah yang akan tiba beberapa jam kemudian di LA. Negara asalnya, kampung halamannya. Tapi kali ini bukanlah bahagia yang ia bawa pergi bersamanya melainkan kesedihan yang teramat dalam yang mungkin tak akan pernah berubah lagi menjadi bahagia. Apa aku salah jika ingin merasakan hidup seperti remaja lainnya?. Aku hanyalah remaja normal yang ingin hidup seperti mereka diluar sana. Terlebih aku merupakan anak yang manja kepada ibu. Tentu saja itu akan sulit bagiku. Tapi ayah tak pernah mengerti tentang semua itu.

"Non.." Ujar bi ijah mendekat kearahku.

"Aku ingin sendiri bi. Tolong tinggalkan aku!" Kata ku menekuk lutut.

"Baik non." Kata bi ijah seraya meninggalkanku sendirian dikamar.

Aku salah? Kesalahan besar yang kubuat kali ini. Ayah menyayangiku? Tapi Apakah aku menyayangi ayah?. Mungkin inilah yang disebut dengan nasib ku yang buruk. Tapi apa ayah peduli denganku? Tentu saja tidak. Ia hanya peduli pada karirku. Ia mungkin meninggalkanku karena tak mau menanggung malu jika karirku hancur dan menjadi bahan gosip para peselancar media.

L I Y ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang