"Kak, apa kau baik-baik saja?" Tanya calissa kepadaku.Aku menyeka ujung mata yang mulai basah.
"Aku tak apa" kataku berusaha tersenyum."kau tau calissa?.. Aku meneteskan air mata pertama kalinya untuk ayah hari itu. Aku mematung, Masih pada posisiku saat menerima bunga. Kolega yang membawanya sudah pergi sejak tadi bahkan sebelum aku mengucap kata 'terima kasih'."
"Kau orang yang tegar." Kata calissa yang kini mengelus pundakku."Saat itu Bi ijah yang berdiri disebelahku memeluk erat tubuhku yang mendadak dingin. Tatapan kosongku menatap orang-orang yang mulai berdatangan membawa karangan bunga dan meletakkannya dipekarangan rumah kami."
"Ayahku.. Ayahku..." Aku berseru parau berusaha mengatakan bahwa ayahku baik-baik saja. Seminggu yang lalu ia bahkan masih berbicara pada bi ijah. Itulah yang aku pikirkan."Seluruh kolega ayah berdatangan dirumah kami. Aku mematung menyaksikan kerumunan orang yang mulai memadati kediaman. Aku bahkan belum tau kebenarannya. Ayahku baik-baik saja. Aku merontah dalam hati berusaha menenangkan diri agar tak terpancing seperti dimasa yang lalu." Aku menyeka pipi yang telah basah.
Aku tidak percaya.
Ayahku masih hidup. Tak ada apapun disini, aku bahkan tidak melihat peti jika itu memang benar."Aku membanting pintu dihadapanku Untuk mengusir dua kemungkinan yang kini hinggap dikepalaku lagi, lagi, dan lagi saat itu. Aku terduduk. Bi ijah menolongku berdiri. Aku tetap tak mau berdiri. "Ayahku.. Ayahku.. Dia masih hidup bi! Percayalah padaku!" Aku berkata parau pada bi ijah yang sudah sejak tadi tersedu-sedu
"Non.. Sabar---"
"JANGAN KATAKAN ITU BI! AYAHKU BAIK-BAIK SAJA!. "Aku berteriak membentak bi ijah dihadapanku yang tak bersalah. Berusaha menenangkanku dari kejadian itu. "aku memaksa keluar dari balik pintu. Menerobos kawalan beberapa kolega ayah yang berusah menghentikanku. Aku tetap saja merontah. Membabi buta berharap aku bisa lolos dan sampai dikerumunan orang-orang yang membawa karangan bunga. "Itu adalah hari terburukku calissa"
"Sirine ambulans menghentikanku. Menyaksikan dengan mata kepala mobil itu diparkirkan masuk ke pekarangan rumah. "Ayaaaaaahhhhh....!" Aku berteriak parau. Berharap ini hanyalah mimpi buruk. "peti mayat dikeluarkan dari mobil tersebut. Para kolega ayah membawa peti itu masuk kedalam rumah dan meletakkannya tepat diruang tengah kami yang luas. Aku berlari mengikuti kolega ayah yang membawa peti itu. Bertuliskan Aldrich Alison dengan pahatan terbaik. "Aku mematung menyaksikan orang yang berada didalam peti itu benar-benar ayahku. Aku berteriak.. Menangis untuk yang pertama kalinya demi ayah. Aku berdosa padanya"
Napasku tersenggal diakhir kalimat."Aku menangis, terisak dipangkuan bi ijah. Satu satunya keluarga yang akan selalu berada dirumah ini. "Katakanlah pada ayahku untuk bangun bi! Ia baik-baik saja kan?'." Itulah yang aku katakan padanya
Bi ijah hanya mengelus rambutku sambil terisak juga saat itu.
Aku terisak mengingat kejadian yang menyedihkan dalam hidupku terulang dua kali. Itu bukanlah kebetulan melainkan tuhan benar-benar menguji kesabaran ku dalam hidup ini.
Calissa mengelus pundakku. Ia juga sama seperti denganku. Sudah menetes sejak tadi. "Ia sudah tenang dialam sana. Tuhan punya rencana yang lebih baik"
Aku mengangguk "Apa kau tau calissa? Saat aku menerima paket bunga itu, bahkan sejak semalam setelah aku gelisah memikirkan dua hal kemungkinan yang berbeda, kini ada dua kemungkinan lagi yang muncul tiba-tiba dikepalaku. Kemungkinan itu langkah, calissa. Seumur hidup, aku baru mendapat petunjuk dua kemungkinan yang kedua-duanya adalah kemungkinan terburuk dalam hidupku. Yang membuatku mematung tak bisa berbuat apa apa untuk mencegah kemungkinan terburuk saat itu terjadi. Tapi itu sia-sia calissa. Kemungkinannya sama. (1) ayahku benar-benar telah tiada, dan (2) ayahku memang benar-benar telah tiada." Napasku tersenggal diakhir kalimat. Menerima tisu dari calissa. Berhenti sejenak dan mengambil napas panjang.
"Saat itu, tuhan memang tak memberiku jalan untuk kemungkinan terbaik. Aku mendapatkan kemungkinan terburuk yang sama kedua-duanya. Berbeda saat ibuku menjelang wafat. Aku mendapat kemungkinan terbaik, (1) ibuku akan sembuh jika ayah berhasil mendapatkan obat penawar racun yang tak sengaja ibu telan, dan kemungkinan teburuknya (2) yaitu ibuku akan wafat jika ayah tak mendapatkan penawar racunnya. Itulah yang mengawali kebencian kepada ayahku sendiri".
"Saat itu ayahku tak berusaha semaksimal mungkin. Bahkan ia meninggalkanku dan ibu dirumah sakit sendirian. Ia pulang mengurus bisnisnya yang baru saja menjajaki kata sukses. Ia tega melakukan itu. Ia membiarkanku menghadapi dua kemungkinan itu. Aku bahkan tidak tau penawar untuk racun apa yang akan ku cari. "Tak ada jalan lain selain menunggu ayah kembali ke rumah sakit. Hingga ibu wafat, ayah bahkan belum kembali." Aku tertegun menghentikan kalimatku. Bagimana pun, aku tak boleh mempunyai dendam itu lagi dihatiku. Aku memaafkan ayah dan semoga ayah juga memaafkanku."Itu ujian hidup yang sangat berat." Calissa membantu menenangkanku.
"Ini masih belum berakhir calissa. Aku baru sampai di pertengahan cerita.
Aku menatapnya samar. Masih dengan mata yang dibasahi oleh air mata. Ia menatapku heran. Seakan bertanya apa lagi yang terjadi setelah itu.
##
Kejadian suram. Aku sial tak mendapat kemungkinan yang terbaiknya saat itu. 2 hari setelah kepergian ayah. Acara kelulusan 2 jam lagi akan segera dimulai. Aku akan pergi bersama siapa?.
[handphone ku berbunyi.]
pesan teks dari vincent."Aku menunggumu didepan aula. Jangan sampai terlambat vanila! Aku ingin memberitahu mu sesuatu."
Mataku membulat. Vincent selalu punya cara membuatku tertawa. Aku harus menemuinya. Siapa tau ia bisa membuatku merasa lebih baik.
Aku bergegas menemuinya di tempat ia menungguku sekaligus mengikuti acara kelulusan.
"Hey vanila!" Kiana memanggilku dari arah yang berbeda, terburu-buru mendekat kearahku.
"Ada apa kiana?" Tanyaku heran
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya kiana dengan napas sesak.
"Tolong jangan tanyakan soal itu kiana." Kataku putus asa.
"Aku turut berduka cita vanila. Maafkan aku tak sempat berkunjung."
Aku mengangguk. "Kau melihat vincent?"
"Ohya.. Dia menunggumu sejak tadi." Kata kiana menepuk jidatnya
"Dimana dia sekarang?"
"Di aula. Ia sedang menerima penghargaan dari kepala sekolah dengan predikat siswa berprestasi. Kau melewatkan pertunjukan pianonya. Ohya! Kau harus melihatnya. Ayo!" Kiana dengan paksa menyambar tanganku. kami masuk tergesa-gesa. Seluruh mata memandang vincent yang baru saja menyelesaikan pidatonya.Aku tertegun mendengar kalimat vincent. Bergumam dalam hati. Membuatku merasa terkesima.
"Doakan aku agar bisa melanjutkan studi masuk kemiliteran." Itulah yang ia katakan.
Aku menatapnya dengan penuh harap. Apa ia mengatannya dengan sungguh-sungguh?. Aku meng-A. Mulutku terbuka-Membayangkan semua hal yang tak terduga itu.
"Aku yakin akan melolosi tesnya vanila." Ujar vincent dihadapanku membuat semua yang ada dikepalaku lenyap begitu saja.
"Sejak kapan kau disini? Bukan kah kau tadi--""Kau terlalu lama melamun." Ia tertawa ringan.
"Lalu.. Bagaimana dengan.." Aku melirik piano disekitar tempat kami berdiri.
"Bermain piano hanyalah hobiku vanila. Tetapi cita-citaku tetaplah memasuki studi kemiliteran.
Ohhh.. Aku bergumam, mengerti.
"Apa yang ingin kau beritahu?""Sebelum itu, cobalah tertawa dulu vanila. Atau Paling tidak tersenyumlah padaku." Kata vincent membujukku.
Aku berusaha tersenyum tipis. "Tentu saja kau tau semuanya. Ayahku telah tiada" wajahku kembali murung."Kemarilah!" Vincent merangkulku. Seakan menyuruh untuk menumpahkan semua air mataku yang tersisa untuk terakhir kalinya.
"Aa.. Aku.." Kataku parau berusaha menandingi isak tangis dan rasa sedih yang termat dalam tentang kepergian ayah yang mengejutkan.
"Aku mengerti vanila." Katanya mengelus rambutku.
Aku terisak. "Lihatlah aku.. yang tak.. punya sia..pa-siapa" kataku terbata-bata.
"Aku turut berduka vanila."
Tangisku semakin meledak-ledak. Beberapa bahkan memandangku dengan heran. Seakan berkata: mengapa dia? Tak lulus PTN? Atau bahkan tak lulus ujian?
Aku hanya mengabaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
L I Y E
Ficção AdolescenteDi dunia ini, hanya segelintir orang beruntung yang bisa menjalani hidup dengan mudah. Tak seperti aku yang hidup dengan penuh perjuangan, meskipun ku tahu bahwa hidup ini butuh semua itu, Perjuangan. Tak terlepas dari orang-orang yang beruntung itu...