3

49 6 0
                                    


Saat ini aku sedang berjalan melewati tiap-tiap kelas yang kosong sesekali melewati siswa ataupun siswi yang dengan serius menatapku dengan aneh. Aku tetap pada pendirianku. Diam dan vakum.

"Jika dia memang seorang penyanyi, lantas kenapa ia meninggalkan profesi itu?"Pertanyaan yang kini tertera dimedia online.

"Apa karena dia tinggal dinegara yang berbeda? Atau karena punya pengalaman buruk dalam dunia tarik suara?"

"Kenapa kau beralih menjadi penulis? Dan kenapa setiap kisah yang kau ceritakan tak pernah berakhir bahagia? Apa karena hidupmu juga tak bahagia?" Tanya seorang hater di sosmed ku berhasil membuat marah ku meledak-ledak.

"Aaaaarrgggghhhhh!" Teriak ku kesal saat membaca pertayaan-pertanyaan miring mereka. Tepat saat vincent hendak berlatih bermain piano lagi.

TIDAK BISAKAH KALIAN HANYA MELIHATKU SAJA TANPA HARUS BERKOMENTAR?

Seseorang dengan spontan menangkap tangan ku yang hendak membanting handphone karena kesal dengan media yang terus saja bertanya dengan pertanyaan miring.

"Apakah dengan membanting handphone-mu semua akan berjalan sesuai yang kau inginkan?" Tanya seorang siswa laki-laki dari belakangku. Tanpa menoleh pun aku sudah kenal betul dengan suaranya.

"Lepaskan!"
1 menit lengang~
Terdiam sejenak saling menatap.

"AKU BILANG LEPASKAN!" Bentak ku berusaha keras melepaskan pegangan vincent dari pergelangan tanganku.

"Apa kau tak mendengar apa yang aku katakan? LEPASKAN!" Bentak ku untuk kesekian kalinya kemudian menangis terisak dihadapan vincent.

Vincent kemudian melepaskan genggamannya yang sangat kuat dari pergelangan tangan ku.

Aku meringis kesakitan "Menapa hidupku menjadi sial seperti ini?" 

"Aa... Aku..." Vincent tak mampu berkata-kata. Bagaimana tidak, ia baru saja menyakiti seorang gadis yang sedang frustasi.

Aku kemudian berjalan dengan tertatih-tatih mendekat ke sebuah tembok didepan ruang musik sekolah. Aku menyandar ditembok itu lalu terduduk masih memegang pergelangan tanganku. Menangis seperti anak kecil yang tengah kehilangan sebuah lolipop.

"Maafkan aku.. Aku tak bermaksud untuk----"

"Non vanila!" Kalimat pak joko memotong kalimat Vincent, memanggil ku dari arah belakang vincent. Vincent menoleh.

[Plaaakkkk...]
bunyi tamparan pak joko mengenai wajah vincent.

"Kamu apain non vanila? Hah? Jawab!" Bentakan pak joko sambil memegang erat kera baju seragam vincent.

Belum sempat vincent berkata, aku bergegas menghentikan tangan pak joko yang hendak menamparnya sekali lagi. Dengan tatapan mata yang kosong aku pergi meninggalkan vincent yang masih berdiri ditempatnya sambil memegang pipi kirinya yang terkena tamparan pak joko.
"Non mengapa menangis?" Tanya pak joko saat sedang membawaku menuju tempat bimbel ku.

Aku menggeleng samar. "Saya mau langsung pulang. Gak mau bimbel hari ini. Tolong pak joko putar balik."

"Tapi non.. Kata tuan non harus---" kalimatnya terpotong.

Aku langsung menatap pak joko dengan tatapan yang tajam. Itu artinya aku tak mau dipaksa bimbel hari ini. Jangan coba-coba untuk menentangku jika aku sudah berkata tidak.

"Baik non" lanjut pak joko.
#

"Ayah?" Seru-ku dibalik pintu ruang  kerja ayah dirumah, aku baru saja pulang dari sekolah.

"Iya? Ada apa vanila?" Ayah yang masih saja terlihat sibuk dengan berkas-berkas perusahaan diatas mejanya tak menoleh sedetik-pun untuk melihat wajah ku.

"Aku mau pindah."
"Pindah?" Ayah mengangkat kepala dari tunduknya setelah memeriksa beberapa berkas.

Aku mengangguk. Mataku kelihatan sembab seperti seseorang yang baru saja menangis.

"Kemana?" Tanya ayah "mengapa matamu seperti itu? Apa kau menangis setiap hari atau bahkan tak pernah tidur selama ayah pergi keluar negeri? Kau bahkan terlihat pucat" ayah yang selama ini acuh bahkan baru menyadari putrinya memang hampir tak pernah tidur. Huff..

"Aku mau pindah." Aku mengulang kembali kalimat

"Kemana?"

"Kemanapun. Tempat yang jauh dari media. Tempat yang bisa membuatku nyaman."

Ayah menatap heran diriku yang kini berubah sikap secara drastis.

"Kau tak bisa jauh dari media vanila. Media itu hidupmu. Namamu besar berkat media. Dan kau terkenal juga karena media. Kau mau mencari kemana rasa nyaman itu? Kaulah yang membuat rasa nyaman itu ada pada dirimu van"
"Aku tak butuh kata terkenal ayah! Aku hanya ingin lari dari masa laluku bersama ibu. Apakah itu salah?" Kata ku sedikit emosi. "Ohh... Iya sudah pasti salah vanila. Pasti itu yang ayah ingin katakan bukan? Aku memang selalu salah dimata ayah. Semua orang selalu salah dimata ayah. Dulu ibu... dan sekarang aku. Aku bahkan merasa tak memiliki orang tua lagi sejak ibu meninggal meskipun ayah masih hidup." Kata ku beranjak meninggalkan ruang kerja ayah dengan sangat kesal. Lagi-lagi permintaanku untuk pindah ke negara lain tak bisa ayah turuti.

L I Y ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang